JEJAK SEJARAH; Disurati Bung Hatta, Presiden Sukarno Bergeming dan Tetap Penjarakan Sjahrir
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments
Silakan masuk menggunakan akun yang telah Anda daftarken untuk mendapatkan informasi yang kami sediakan?
JAKARTA-Mohammad Hatta coba meyakinkan Sukarno jika penahanan Sutan Sjahrir dan kawan-kawannya merupakan sebuah kekeliruan. Si Bung Besar tetap bergeming.
Ketika mendengar Sutan Sjahrir ditangkap pada 16 Januari 1962, Mohammad Hatta merasakan kesedihan dan keprihatinan luar biasa. Tanpa banyak pertimbangan, dia kemudian menulis surat kepada Presiden Sukarno. Isinya, meminta sahabatnya itu untuk melepaskan Sjahrir yang dia anggap tak mungkin memiliki niat sejahat itu.
Dikutip dari laman merdeka.com, menurut Hatta, meskipun Sjahrir dan kawan-kawannya yang ditangkap itu tidak segan melakukan oposisi yang keras dalam berpolitik (seperti zaman pergerakan), namun untuk mengikuti cara teror, Hatta menegaskan ketidakpercayaannya.
"Sjahrir dan lainnya itu secara prinsip menentang segala macam teror dalam politik karena bertentangan dengan sosialisme dan peri-kemanusiaan," tulis Hatta seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir.
Tapi Si Bung Besar tetap bergeming. Dia lebih mempercayai penjelasan kepala intelijen-nya, Soebandrio. Buktinya, tak ada surat balasan sama sekali dari Sukarno.
Penjara Tua
Sjahrir cukup menderita saat menjadi tahanan politik. Menurut Rosihan Anwar, justru ketika dipindah ke Madiun pada 16 November 1962, Si Bung Kecil (panggilan akrab kawan-kawannya kepada Sjahrir) tekanan darah tingginya kembali naik. Dia kemudian dibawa ke RSPAD Jakarta. Setelah 8 bulan dirawat dan dianggap sembuh, Sjahrir kembali dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Keagungan, Jakarta.
"Di sinilah kondisi kesehatannya terus mundur karena tak ada perawatan dokter yang teratur," ujar Rosihan.
Dalam situasi yang sulit seperti itu, pada 9 Februari 1965, Sjahrir dipindahkan ke RTM di Jalan Budi Utomo, Jakarta. Padahal menurut Rosihan, RTM Budi Utomo sangatlah tidak layak untuk tahanan politik sekaliber Sjahrir.
Mengingat tempat itu merupakan penjara tua yang tidak memenuhi standarisasi kesehatan yang layak. Selama di sana, Sjahrir ditempatkan pada sebuah kamar yang lembab di samping toilet.
"Dan selama hari-hari pertama di sana, kiriman makanan diet-nya dari rumah tidak boleh masuk sama sekali," kenang Rosihan.
Sjahrir Stroke
Pada 22 Februari 1965, Sjahrir mengalami stroke-nya yang pertama di RTM Budi Utomo. Disusul stroke kedua-nya saat dia berada di kamar mandi. Kawan-kawan-nya sudah melakukan berbagai cara agar Sjahrir cepat dibawa ke rumah sakit. Namun Si Bung Kecil memilih tetap bertahan.
"Biar dulu, biasanya setelah setengah menit juga akan berlalu…" katanya.
Memang setelah itu situasi kesehatannya agak reda. Namun beberapa jam kemudian seorang prajurit penjaga tiba-tiba berteriak minta tolong. Karena melihat Sjahrir kembali roboh.
Semua kawan-kawannya mengupayakan agar dia cepat ditolong oleh seorang dokter. Namun karena itu memerlukan izin khusus dari Jaksa Agung dan saat diupayakan tak jua tiba izin-nya, pertolongan untuk Sjahrir menjadi tertunda.
"Barulah keesokan harinya dengan susah payah Bung Sjahrir dapat diangkut ke RSPAD," ujar Rosihan.
Nada Tinggi Bung Karno
Para dokter di RSPAD ternyata sudah mengangkat bahu dengan kondisi Sjahrir. Tak ada cara lain, dia harus dirawat di luar negeri. Persoalannya siapa yang bisa mengupayakan izin kepada Sukarno? Akhirnya seorang sahabat Sjahrir yang sekaligus sahabat dekat Sukarno yakni pengusaha Hasjim Ning, diutus menghadap Si Bung Besar.
Hasjim menemui Presiden Sukarno di suatu siang. Dia lantas memberitahu Sukarno jika kondisi Sjahrir sudah sangat gawat dan perlu ditangani secepatnya.
"Bapak, Bung Sjahrir sudah demikian parah sakitnya. Kalau tidak berobat ke luar negeri, tak lama lagi ia akan mati," kata Hasjim.
Alih-alih merasa tersentuh, Sukarno malah memperlihatkan kejengkelannya dengan permohonan itu.
"Mengapa kamu ribut-ribut tentang Sjahrir?" katanya dalam nada tidak suka.
"Aku banyak berutang budi kepadanya," jawab Hasjim.
"Kamu. Orangnya sendiri tidak minta."
"Aku yang minta."
"Kamu bukan saudaranya. Kamu tidak siapa-siapanya," jawab Sukarno meninggi.
Berobat ke Swis dan Meninggalnya Sjahrir
Dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang (disusun oleh A.A. Navis), Hasyim menyatakan keputusasaannya atas jawaban Sukarno itu. Tapi muncul ide untuk menghubungi Poppy (istri Sjahrir) agar bicara langsung kepada sang presiden.
Namun sebelum itu dilakukan, rupanya Bung Karno berubah pikiran. Ternyata dia tidak benar-benar ingin mendiamkan Sjahrir. Sejarah mencatat, izin kepada Sjahrir untuk berobat ke luar negeri pun turun.
"Hanya di surat yang mengizinkan Sjahrir meninggalkan negeri, Sukarno dilaporkan menambah syarat: Tidak ke Negeri Belanda," demikian penulis Mrazek mengungkapkan.
Maka dipilihlah Swis sebagai tujuan berobat. Salah satu alasannya karena Poppy menguasai sedikit bahasa Jerman (bahasa yang banyak digunakan di Swis). Bertolak-lah rombongan kecil keluarga Sjahrir dari Bandara Kemayoran pada 25 Juli 1965.
Namun penanganan yang dilakukan para dokter Swis juga ternyata tidak memberikan kemajuan berarti untuk kesehatan Sjahrir.
Setelah 9 bulan bergelut dengan rasa sakit dan kerinduan akan tanah air, Si Bung Kecil pun akhirnya harus pergi selama-lamanya.***