Selasa, 19 Nov 2024
  • Home
  • Serbaserbi
  • Analisa Rupiah 2023: Bak Roller Coaster Dolar Nyaris Rp16.000

Analisa Rupiah 2023: Bak Roller Coaster Dolar Nyaris Rp16.000

Administrator Sabtu, 30 Desember 2023 07:46 WIB

DUNIA, BISNIS, -  Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2023 cukup mengejutkan pelaku pasar. Pasalnya rupiah sempat hampir menyentuh level psikologis Rp16.000/US$ di bulan Oktober.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah hari ini (29/12/2023) ditutup di angka Rp15.395/US$ atau menguat 0,13% terhadap dolar AS. Sementara secara year to date (ytd) menguat sebesar 1,09%. Penguatan rupiah di akhir tahun 2023 ini juga sejalan dengan pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang pada awal tahun menyakini pergerakan rupiah akan terus menguat ke depannya.

Posisi terlemah rupiah tahun ini terjadi pada 27 Oktober 2023 di angka Rp15.935/US$ yang juga merupakan posisi terparah sejak 3,5 tahun terakhir. Sebaliknya, posisi terkuat rupiah adalah pada 28 April 2023 di mana mata uang Garuda mampu berdiri di posisi Rp 14.665/US$.

Perjalanan Rupiah Bak Roller Coaster 2023:

Februari: Inflasi Global Melandai Mendorong Masuknya Dana Asing ke Indonesia
Apresiasi rupiah terjadi karena spekulasi bahwa bank sentral AS (The Fed) akan mengurangi hawkish, mengingat inflasi yang terus melandai.

Inflasi yang melandai diprakirakan mendorong kebijakan moneter ketat di negara maju mendekati titik puncaknya, dengan suku bunga diprakirakan masih tetap tinggi di sepanjang 2023. Ketidakpastian pasar keuangan global juga mereda sehingga berdampak pada meningkatnya aliran modal global ke negara berkembang termasuk Indonesia. Tekanan depresiasi nilai tukar di berbagai negara tersebut berkurang.

Per 15 Februari 2023, rupiah menguat 2,39% dibandingkan dengan level akhir Desember 2022. Apresiasi rupiah tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan apresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Filipina (0,99%), Thailand (0,85%), dan Malaysia (0,27%).

Maret: Bank Sentral AS (The Fed) Beri Sinyal Hawkish
Pertumbuhan ekonomi AS dan Eropa lebih baik dari proyeksi sebelumnya dan diikuti oleh risiko resesi yang menurun. Perbaikan ekonomi ini menaikkan harga komoditas non-energi diikuti oleh ekspektasi kenaikan upah karena keketatan pasar tenaga kerja di AS dan Eropa mengakibatkan proses penurunan inflasi global berjalan lebih lambat, sehingga mendorong kebijakan moneter ketat negara maju berlangsung lebih lama sepanjang 2023.

Lebih lanjut, investasi asing juga kabur dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp3,03 triliun pada 6-9 Maret 2023. Selain itu, outflow di pasar SBN dipengaruhi oleh sentimen The Fed. Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell yang mengungkapkan bahwa suku bunga AS atau Fed Fund Rate (FFR) akan naik lebih tinggi, bikin semua investor putar arah.

Hal ini yang membuat yield US Treasury meningkat dan memberikan dampak terhadap pasar keuangan Indonesia, terutama ke pasar obligasi pemerintah.

Mei: Utang AS Jadi Kekhawatiran Global
Isu utang Amerika Serikat juga menjadi salah satu penekan dolar AS. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan per 31 Maret utang Amerika Serikat menembus US$31,45 triliun, diperparah dengan ancaman anggaran belanja yang diperkirakan akan habis.

Di samping kekhawatiran yang datang dari AS, data ekonomi Indonesia justru sangat baik.

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal-I 2023 meningkat dibandingkan dengan capaian pada kuartal sebelumnya, ditopang oleh berlanjutnya surplus transaksi berjalan seiring kinerja positif neraca perdagangan serta surplus transaksi modal dan finansial.

Neraca perdagangan April 2023 kembali mencatat surplus cukup tinggi sebesar US$3,9 miliar dipengaruhi ekspor nonmigas yang kuat. Alhasil aliran masuk modal asing di pasar keuangan domestik juga berlanjut pada kuartal-II 2023, tecermin dari investasi portofolio yang hingga 23 Mei 2023 mencatat net inflows sebesar US$1 miliar.

September-Oktober: Rupiah Dekati Level Rp16.000/US$
Kuatnya ekonomi AS didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan (excess savings). Dalam hal ini, inflasi di negara maju masih tetap tinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak. Perkembangan tersebut mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama FFR AS, yang mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.

Dilansir dari Reuters, pejabat The Fed mengatakan bahwa kebijakan moneter perlu tetap bersifat restriktif untuk "beberapa waktu" agar inflasi kembali turun ke target The Fed sebesar 2%.

November-Desember: The Fed Buka Peluang Cut Rate 2024
Suku bunga kebijakan moneter, termasuk FFR diprakirakan telah mencapai puncaknya namun masih akan bertahan tinggi dalam waktu yang lama (high for longer). Demikian pula yield obligasi pemerintah negara maju, termasuk US Treasury, diprakirakan dalam kecenderungan menurun.

Kejelasan arah kebijakan moneter di negara maju tersebut mendorong mulai meredanya ketidakpastian pasar keuangan global. Sehubungan dengan itu, aliran modal sejauh ini mulai kembali masuk dan menurunkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market, termasuk Indonesia.

Masuknya aliran portofolio asing di tengah menariknya imbal hasil aset keuangan domestik semakin memperkuat posisi rupiah.

BI mengoptimalkan instrumen moneter SRBI, Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) yang pro-market dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang dan mendukung upaya menarik portfolio inflows, dengan memanfaatkan aset SBN dan surat berharga valas yang dimiliki oleh BI sebagai underlying.

Lelang SRBI dan SVBI hingga 19 Desember 2023 masing-masing telah mencapai Rp229,95 triliun dan US$421,50 juta. Instrumen SRBI telah secara aktif diperdagangkan di pasar sekunder tecermin dari kepemilikan investor asing yang mencapai Rp52,87 triliun.

Sementara itu, posisi investor asing di SVBI tercatat sebesar US$6 juta. Selain itu, BI juga menerbitkan SUVBI sebagai instrumen moneter valas yang hingga 19 Desember 2023 telah mencapai US$129 juta.

Berbagai inovasi instrumen ini diharapkan dapat mendukung strategi operasi moneter yang pro-market dan dapat menarik aliran modal masuk untuk memperkuat ketahanan eksternal ekonomi Indonesia dari dampak rambatan global. sc:cnbc research

T#gs
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments