- Home
- Serbaserbi
- Kilas Balik Sejarah Rumah Lontiok Yang Hampir Terkikis Zaman
Kilas Balik Sejarah Rumah Lontiok Yang Hampir Terkikis Zaman
antaranusa123 Selasa, 28 September 2021 16:11 WIB
Dhita Windy Utami
Antaranusa.com - Rumah Lontiok adalah rumah adat yang berada di daerah Riau. Rumah ini merupakan rumah yang ditinggali oleh masyarakat Kampar. Rumah Lontiok juga dikenal dengan nama rumah lancang dan pencalang. Rumah Lontiok adalah rumah yang mempunyai ciri seperti rumah panggung. Kata Lontiok dalam bahasa Indonesia yaitu lentik.
Saat ini keberadaan rumah Lontiak menjadi salah satu objek wisata di Kampar. Daerah yang terkenal dikunjungi sebagai wisata rumah lontiok adalah Dusun Pulau Belimbing Desa Sipungguk, Kampar. Jumlah rumah lontiok kini tak banyak lagi seiring dengan pembangunan arsitektur modern.
Menurut cerita salah seorang penjaga rumah Lontiak, Datuk Jaid, diketahui rumah Lontiak merupakan peninggalan dari suku Domo masyarakat Kampar. Namun berdirinya rumah tersebut tidak ada yang mengetahuinya secara persis.
"Diperkirakan rumah ini sudah ada sejak tahun 1954, beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia", ujar Datuk Jaid.
Dijelaskan oleh Datuk Jaid, keberadaan rumah Lontiak dahulunya digunakan sebagai perkumpulan/musyawarah adat, para pemuda-pemudi, pertemuan dua keluarga ketika meminang dan lainnya.
Keberadaan rumah Lontiak saat ini bukan lagi rumah aslinya melainkan replikanya saja. Meski hanya replika, ukiran dan bentuknya dibuat mirip dengan aslinya.
Di rumah Lontiok ini juga terdapat banyak kalimat kiasan yang digunakan orang dahulu sebagai kata sindiran tetapi memiliki arti. Salah satu contoh kata kiasan yang terdapat di rumah Lontiak ialah "Cilako bujang ghonja, cilako gadih bajajang sonjo, cilako tuo nyinyie".
Yang memiliki arti "Celaka anak lelaki apabila bekerja beberapa bulan terus keluar kemudian mengulang hal yang sama maka dia tidak akan dipakai lagi, celaka anak gadis apabila sudah senja masih berkeliaran di luar rumah dan celaka orang tua ketika berbicara dengan anak muda tapi menggunakan bahasa yang tidak sepantasnya".
"Manusia zaman dulu tidak sama seperti sekarang yang ketika berbicara langsung mengucapkan kata yang frontal, kalau orang zaman dulu mereka memang suka menggunakan kata kiasan", jelas Datuk Jaid.
Disekitar perkarangan rumah Lontiok juga terdapat peninggalan berupa penggiling tebu dan disisi kanan juga terdapat tempat penyimpanan padi. "Di zaman dulu belum ada manisan yang instan itu mengapa orang-orang dulu membuat panggiliong tobu untuk menggiling tebu dan membuat manisan sendiri, dan tempat penyimpanan itu hanya untuk menyimpan padi yang sudah selesai panen bukan untuk tempat penggilingan padi", imbuh Datuk Jaid.
Diakhir percakapan, Datuk Jaid dan petuah adat lainnya sedang berusaha membuat Rumah Lontiok ini memberi kehidupan lagi agar kenangan dan tradisinya tidak punah dan terkikis oleh zaman.
"Kita doakan saja semoga ini semua bisa terealisasikan dan berjalan baik agar peninggalan bersejarah yang ada di Riau ini tidak punah", tandasnya.
Penulis : Dhita Windy Utami
Mahasiswi Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Riau
Sumber : Datuk Jaid (Penjaga Rumah Lontiok)
T#gs
Saat ini keberadaan rumah Lontiak menjadi salah satu objek wisata di Kampar. Daerah yang terkenal dikunjungi sebagai wisata rumah lontiok adalah Dusun Pulau Belimbing Desa Sipungguk, Kampar. Jumlah rumah lontiok kini tak banyak lagi seiring dengan pembangunan arsitektur modern.
Menurut cerita salah seorang penjaga rumah Lontiak, Datuk Jaid, diketahui rumah Lontiak merupakan peninggalan dari suku Domo masyarakat Kampar. Namun berdirinya rumah tersebut tidak ada yang mengetahuinya secara persis.
"Diperkirakan rumah ini sudah ada sejak tahun 1954, beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia", ujar Datuk Jaid.
Dijelaskan oleh Datuk Jaid, keberadaan rumah Lontiak dahulunya digunakan sebagai perkumpulan/musyawarah adat, para pemuda-pemudi, pertemuan dua keluarga ketika meminang dan lainnya.
Keberadaan rumah Lontiak saat ini bukan lagi rumah aslinya melainkan replikanya saja. Meski hanya replika, ukiran dan bentuknya dibuat mirip dengan aslinya.
Di rumah Lontiok ini juga terdapat banyak kalimat kiasan yang digunakan orang dahulu sebagai kata sindiran tetapi memiliki arti. Salah satu contoh kata kiasan yang terdapat di rumah Lontiak ialah "Cilako bujang ghonja, cilako gadih bajajang sonjo, cilako tuo nyinyie".
Yang memiliki arti "Celaka anak lelaki apabila bekerja beberapa bulan terus keluar kemudian mengulang hal yang sama maka dia tidak akan dipakai lagi, celaka anak gadis apabila sudah senja masih berkeliaran di luar rumah dan celaka orang tua ketika berbicara dengan anak muda tapi menggunakan bahasa yang tidak sepantasnya".
"Manusia zaman dulu tidak sama seperti sekarang yang ketika berbicara langsung mengucapkan kata yang frontal, kalau orang zaman dulu mereka memang suka menggunakan kata kiasan", jelas Datuk Jaid.
Disekitar perkarangan rumah Lontiok juga terdapat peninggalan berupa penggiling tebu dan disisi kanan juga terdapat tempat penyimpanan padi. "Di zaman dulu belum ada manisan yang instan itu mengapa orang-orang dulu membuat panggiliong tobu untuk menggiling tebu dan membuat manisan sendiri, dan tempat penyimpanan itu hanya untuk menyimpan padi yang sudah selesai panen bukan untuk tempat penggilingan padi", imbuh Datuk Jaid.
Diakhir percakapan, Datuk Jaid dan petuah adat lainnya sedang berusaha membuat Rumah Lontiok ini memberi kehidupan lagi agar kenangan dan tradisinya tidak punah dan terkikis oleh zaman.
"Kita doakan saja semoga ini semua bisa terealisasikan dan berjalan baik agar peninggalan bersejarah yang ada di Riau ini tidak punah", tandasnya.
Penulis : Dhita Windy Utami
Mahasiswi Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Riau
Sumber : Datuk Jaid (Penjaga Rumah Lontiok)
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments