- Home
- antaranusa
- Di Maiyah, Kita Beragama dengan Cinta
Di Maiyah, Kita Beragama dengan Cinta
Minggu, 03 November 2019 18:41 WIB
Setelah mengisi acara seminar dan ziarah di Kudus, Syeikh Nursamad Kamba akhirnya bisa membersamai Sinau Bareng jamaah Simpul Maiyah Gambang Syafaat, di depan Aula Masjid Baiturrahman, Jumat, 25 Oktober 2019. Sudah tiga kali Syeikh Nursamad hadir di Gambang Syafaat. Perjumpaan terakhir adalah pada 25 Desember tahun lalu, persis saat milad. Syeikh Nursamad Kamba saat itu hadir dengan Mbah Nun. Malam ini juga, beliau berdua bertemu.
Sejak sore, postingan akun instagram Gambang Syafaat sudah ramai sekali oleh komentar-komentar jamaah yang mengabarkan akan hadir di Sinau Bareng. Pukul sembilan malam, hamparan manusia duduk lesehan tersaji di halaman parkir mobil Masjid Baiturrahman. Mereka tentu akan terus duduk di situ sampai pukul tiga subuh. Jamaah akan menikmati suguhan hiburan dari Wakijo lan Sedulur dan menyimak uraian tanggapan tema dari narasumber satu ke narasumber lain.
Mbah Nun dan Syeikh Nursamad tiba di panggung ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam, dan Pak Ilyas, Pak Saratri, Gus Aniq sudah selesai memberikan tanggapan atas tema Maiyahan.
Baru beberapa menit duduk di panggung, Mbah Nun langsung merespons kondisi lapangan yang tidak nyaman bagi jamaah yang duduk paling belakang. Posisi tempat duduk narasumber dan jamaah tingginya hampir sejajar. Kedatangan Dua Marja' Maiyah ini hanya bisa didengarkan suaranya, tetapi tidak bisa dilihat fisiknya oleh jamaah yang duduk di belakang.
Maka, Mbah Nun meminta satu kursi duduk kepada penggiat Gambang Syafaat untuk Syeikh Nursamad Kamba yang akan membuka bahasan Sinau Bareng. Tetapi, Anda tahu, duduk kursi di antara yang lain duduk lesehan bukan pemandangan yang elok. Syeikh Kamba merasa sungkan dan bersedia menyampaikan bahasannya dengan berdiri.
Maiyah Sebagai Ilmu Khudhuri
Syeikh Nursamad mengawali Sinau Bareng dengan penjelasan tentang ilmu. Bahwa, kata Syeikh, terdapat dua istilah di dalam Al-Qur'an untuk pengetahuan. Pertama, Al-ilm. Kedua, Al-Makrifat. ya'lamu dan ya'rifu. Ya'rifuna itu artinya kita mengenali secara emosional seperti orang-orang mengenali keluarganya. Seperti anak mengenal bapaknya dan bapak mengenal anaknya. Itu namanya makrifat, ya'rifu. Sedangkan ya'lamu adalah pengetahuan biasa yang bersifat kognitif.
Nah, pertanyaan dari Syeikh Kamba untuk jamaah, "Maiyah itu ilmu kognitif atau ilmu makrifat?" Ada yang menjawab secara tegas, "markifat!", ada juga sayup-sayup suara yang mengatakan, "kognitif." Jamaah sepertinya belum satu suara dan malah terbagi menjadi dua kubu.
Pertama, kubu yang menjawab dengan jawaban "markifat". Kedua, kubu yang menjawab dengan jawaban "koginitif." Syeikh Kamba tak langsung memberikan jawaban. Beliau menerangkan lagi secara runtut untuk kemudian diketahui jawabannya. Kata Syeikh Kamba, dalam istilah lain, ilmu biasa atau kognitif itu disebut ilmu hushuli dan ilmu yang makrifat disebut ilmu hudhuri. Dalam disiplin ilmu tasawuf, jalan menuju ilmu hudhuri itu harus dengan jalan cinta.
Itu sebabnya di dalam Al-Qur'an, agama harus didasarkan dengan cinta. Qul in kuntum tuhibunallah fattabi'uni yuhbikumullah. Syeikh Kamba menerjemahkan petikan ayat tersebut tidak sama dengan terjemahan resmi negara. Dalam terjemahan resmi tersebut "Qul" diartikan "katakanlah".
Padahal, menurut Syeikh, Allah itu tidak bisa diperkatakan, karena Allah adalah yang Maha Mutlak. Lebih tepat "qul" di ayat itu diartikan "pastikanlah" atau "yakinkanlah". Sehingga bunyi terjemahan ayat tersebut adalah "pastikanlah (yakinkanlah) jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku (Muhammad)". Bunyi ayat itu mengartikan bahwa keikutan kita kepada Rasulullah harus didasarkan cinta kepada Allah.
Mengapa demikian? Karena ketika kita beragama untuk mengikuti Rasulullah dasarnya adalah cinta. Harus mencintai Allah dan Rasulnya. Seluruh ibadah dan perintah dalam ajaran Islam itu harus dilakukan dengan sukarela. Sebab, ibadah dan perintah agama selalu mempersyaratkan niat. Syarat itu untuk memfokuskan kepada Allah. Jadi, semua harus dengan ridlo melakukan perintah Allah Swt.
Bertolak dari pemahaman seperti itu, menurut Syeikh Kamba, seharusnya kita menjalankan ajaran agama tidak dengan logika transaksional. Maksud logika transaksional dalam beragama adalah ketika kita melakukan A, lantas kita menginginkan Tuhan melakukan B kepada kita. Kalau kita shalat, kita meminta Tuhan menyediakann surga untuk kita. Pola pikir seperti itu melupakan posisi kita bahwa kita adalah hamba. "Yang namanya hamba, "kata Syeikh, "harus mengabdi kepada Allah tanpa pamrih. Tidak disuruh pun kita harus menjalani."
Selama kita menjalankan ajaran agama dengan logika transaksi. Kita tidak tidak akan bisa menjalankan ajaran agama dengan cinta. Kalau masih terpikat dengan iming-iming berarti kita masih kekanak-kanakan dalam beragama. Kalau masih kekanak-kanakan dalam beragama, kita tidak bisa membangun cinta.
Sebagai hamba, kita harus memiliki kesadaran bahwa berbuat itu tidak ada dasar harapan mendapat balasan yang setimpal atau lebih besar. Niat kita melakukan perbuatan baik karena tahu itu memang baik. Bukan karena melakukan kebaikan dengan harapan mendapat imbalan. Orang-orang yang berbuat baik atas dasar cinta bisa kita temui di Maiyah. "Mana ada orang jadi penggiat Maiyah untuk imbalan. Tidak ada," kata Syeikh Kamba. Mungkin kalau penggiat Simpul Maiyah menjalankan sinau bareng atas dasar logika transaksional.
Usia Maiyahan telah berlangsung lama. Gambang Syafaat juga tidak akan mencapai usia 20 tahun (pada 25 Desember 2019) kalau menjalankan simpul ini dengan logika transaksional. Kunci keawetan menyelenggarakan Sinau Bareng selama puluhan tahun adalah kerelaan. Pola pikir seperti itu juga harus diterapkan saat kita menjalankan ajaran dan perintah agama. Sebab kalau tidak, itu akan menimbulkan ironi. Dan kata Syeikh Kamba, ironi kita dalam beragama adalah kita tidak berangkat dari ilmu yang hudhuri. Sehingga kita tidak mempunyai cinta kasih, selalu berada dalam logika transaksional. Padahal dalam cinta tidak ada transaksi. Kalau masih ada transaski itu namanya bukan cinta, tetapi kalkulasi.
Muatan Ilmu Khudhuri Maiyah
Lantas bagaimana caranya memiliki ilmu hudhuri? Syeikh Kamba menerangkan bahwa ketika kita mencintai Allah, Rasulullah, dan mencinta orang yang dicinta Allah, kita bisa menghasilkan ilmu hudhuri. Di Maiyah, yang diajarkan dan ditekankan adalah cinta. Mbah Nun pernah mengenalkan konsep Maiyah Cinta Segitiga. Keterkaitan antara hamba, Rasulullah, dan Allah harus diperantai dan dihubungkan dengan rasa cinta. Ilmu Maiyah seperti segitiga cinta, kata Syeikh Kamba, adalah ilmu hudhuri yang didasari cinta kasih.
Jawaban atas pertanyaan Syeikh Kamba di awal acara tadi, apakah Maiyah itu ilmu kognitif atau ilmu makrifat? Sesuai penjabaran panjang Syeikh Kamba, kita bisa mengetahui bahwa jawabannya adalah Maiyah itu ilmu makrifat atau ilmu hudhuri. Syeikh Kamba memberikan penjelasan itu dengan argumentasi yang disampaikan secara runtut dan jelas.
Suasana Maiyahan pun menjadi hening dan sepi dari suara tawa. Ada kalanya menjadi padat. Ada kalanya menjadi luwes. Suasana Sinau Bareng di Maiyah bisa penuh canda, juga bisa serius tapi tidak kaku. Hampir satu jam lebih, jamaah menyimak uraian Syeikh Kamba dengan saksama. Tidak ada yang beranjak dari tempat duduk karena kebosanan. Kepadatan ilmu yang tersaji malam itu yang membuat mereka bertahan. Dan di Maiyah, ilmu tentang cinta selalu diajarkan. Sebab, kata Syeikh Kamba, di dalam Maiyah kita membangun agama dengan cinta. (*).
sumber: caknun
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments