- Home
- antaranusa
- Gambut Itu Harus Basah, Siapa yang buat Gambut kering? Sawit?
Gambut Itu Harus Basah, Siapa yang buat Gambut kering? Sawit?
Minggu, 02 Februari 2020 08:29 WIB
LINGKUNGAN, - Selama lahan gambut tak basah, kebakaran akan terus berulang. Berbagai upaya dilakukan, mulai peningkatan kesadaran masyarakat, sampai penegakan humum, namun kebakaran masih terus berulang.
Dalam kondisi basah, gambut merupakan penyerap karbon yang sangat baik hingga dapat membantu mengurangi panas bumi dan krisis iklim. Sebaliknya, gambut kering akan terus-menerus melepas karbon ke udara meski tanpa kebakaran sekalipun. Terlebih, kalau kebakaran, pelepasan karbon dapat meningkat signifikan.
Upaya pembasahan gambut idealnya, melalui pembasahan penuh. Dalam pembasahan penuh, gambut dibasahi hingga mendekati permukaan lahan. Kondisi ini, disebut dengan jenuh air, yakni, permukaan air jadi benar-benar basah sampai pori-pori gambut tak mampu lagi menampung air.
Apabila kondisi lahan gambut jenuh air, semua budidaya di lahan gambut perlu diarahkan ke praktik paludikultur. Paludikultur adalah budidaya tanaman yang bisa tumbuh baik pada kondisi lahan gambut basah, misaln, sagu dan purun. Paludikultur juga mendukung penambahan bahan organik pada gambut itu sendiri.
Pemerintah, peneliti, maupun lembaga swadaya masyarakat banyak bersepakat, salah satu penyebab kebakaran berulang karena gambut kering. Selama lahan gambut tak basah, kebakaran akan terus berulang. Berbagai upaya dilakukan, mulai peningkatan kesadaran masyarakat, sampai penegakan humum, namun kebakaran masih terus berulang. Apa yang terjadi?
Gambut merupakan akumulasi bahan organik di rawa, berasal dari tanaman tak terurai dengan sempurna. Perlu waktu lama membentuk gambut. Lahan gambut di Kalimantan Tengah, misal, perlu waktu 140 tahun mencapai kedalaman 0,5-1 meter.
Sementara gambut kedalaman 8-10 meter memakan waktu 13.000-25.000 tahun untuk terbentuk. Mengeringkan gambut, berarti membuka celah kebakaran pada materi organik maha karya puluhan ribu tahun ini.
Dalam kondisi basah, gambut merupakan penyerap karbon yang sangat baik hingga dapat membantu mengurangi panas bumi dan krisis iklim. Sebaliknya, gambut kering akan terus-menerus melepas karbon ke udara meski tanpa kebakaran sekalipun. Terlebih, kalau kebakaran, pelepasan karbon dapat meningkat signifikan.
Persoalan lain, gambut di Indonesia dengan kedalaman mencapai lebih dari 10 meter menyebabkan kebakaran terjadi ke bawah.
Kebakaran di bawah permukaan tanah ini sulit terdeteksi karena gambut tidak menyala seluruhnya, melainkan hanya membara di bawah. Api yang membakar gambut inilah yang menimbulkan banyak asap dan berkontribusi pada bencana asap selama lebih dua dekade terakhir.
Padahal, pasca 2015, Presiden Joko Widodo, sudah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menanggulangi kebakaran, termasuk membasahi kembali ekosistem gambut yang rusak demi menghindari kebakaran.
Mengapa kebakaran masih terjadi?
Sampai saat ini, pemerintah telah melakukan banyak upaya perlindungan dan perbaikan lahan gambut. Salah satu dengan pembasahan gambut yang mengering melalui penyekatan di kanal-kanal gambut.
Upaya pembasahan gambut idealnya, melalui pembasahan penuh. Dalam pembasahan penuh, gambut dibasahi hingga mendekati permukaan lahan. Kondisi ini, disebut dengan jenuh air, yakni, permukaan air jadi benar-benar basah sampai pori-pori gambut tak mampu lagi menampung air.
Kondisi ini, paling efektif untuk menghindari pelepasan karbon ke udara dan mencegah jadi api.
Sayangnya, kebanyakan sekat kanal tak memenuhi syarat pembasahan penuh dan masih memberi ruang bagi air untuk mengalir keluar hingga kedalaman tertentu. Pembasahan yang tak penuh menyebabkan reaksi oksigen dengan senyawa-senyawa yang terdapat di gambut tetap berlanjut. Reaksi ini akan tetap melepas karbon, dan menyebabkan penurunan permukaan lahan gambut.
Persoalannya, pembasahan penuh tak melulu mudah. Apalagi, kalau lahan gambut terlalu kering dan berada dalam kondisi hidrofobisitas, yaitu, gambut tak mampu menyerap air sama sekali meski pembasahan. Kalau terjadi hidrofibisitas, pembasahan lahan gambut rentan menjadi genangan permukaan pada saat musim hujan, dan mudah erosi.
Karena itu, agar lebih efektif mencegah kebakaran, perlu ada peraturan yang mensyaratkan gambut harus dalam kondisi jenuh air. Sebagai konsekuensinya, syarat agar tinggi muka air gambut dipertahankan pada kedalaman 0,4 meter—sesuai PP No. 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut–, perlu dikaji ulang.
Syarat tinggi muka air 0,4 meter tidak seharusnya berlaku sama rata pada semua tipe lahan gambut. Apalagi, mempertahankan tinggi muka air 0,4 meter pun tidak menghentikan pertambahan pelepasan karbon dan subsiden lahan. Terlebih, pemantauan terhadap tinggi muka air 0,4 meter di lapangan juga sulit dilakukan.
Saatnya, kita memiliki visi jangka panjang terkait keberlangsungan lahan gambut. Untuk itu, pembasahan penuh harus dilakukan pada gambut yang kering. Tujuannya, agar lahan gambut jadi jenuh air mendekati kondisi alami hingga mencegah kebakaran gambut dan mengurangi pelepasan karbon.
Pemantauan kondisi jenuh air di lapangan ini mudah dilakukan karena bisa dibantu citra satelit.
Apabila kondisi lahan gambut jenuh air, semua budidaya di lahan gambut perlu diarahkan ke praktik paludikultur. Paludikultur adalah budidaya tanaman yang bisa tumbuh baik pada kondisi lahan gambut basah, misaln, sagu dan purun. Paludikultur juga mendukung penambahan bahan organik pada gambut itu sendiri.
Akhirnya, teknologi, riset, kebijakan, dan peraturan harus diarahkan mendukung misi gambut jenuh air dan praktik paludikultur. Harapannya, kebakaran berulang selama lebih dua dekade ini tak terjadi lagi. (*).
oleh Eli Nur Nirmala Sari, Penulis adalah Peatland Restoration Specialist, WRI Indonesia
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments