Selasa, 24 Des 2024

Jancuk, Antara Ungkapan Kemesraan dan Makian

Kamis, 07 Februari 2019 08:32 WIB

Diksi jancuk akrab dipakai warga Jawa Timur, khususnya Surabaya dan sekitarnya.
NASIONAL, - Diksi 'jancuk' dalam sepekan terakhir memenuhi percakapan di ruang-ruang publik, di dunia nyata maupun dunia maya. 

Jancok, dancok, atau disingkat menjadi cok, yang terkadang ditulis jancuk atau cuk, ancok atau ancuk, dan coeg, merupakan kata yang akrab bagi warga Jawa Timur, khususnya di Surabaya, Malang, Lamongan, dan sekitarnya. Lantas, apa makna sebenarnya dari jancuk?

Namun, meski memiliki konotasi buruk, kata jancok menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya. Bahkan digunakan sebagai kata sapaan untuk memanggil di antara teman, untuk meningkatkan rasa kebersamaan. Normalnya, kata tersebut digunakan sebagai umpatan pada saat emosi meledak, marah, atau untuk membenci dan mengumpat seseorang. Kata jancuk juga menjadi simbol keakraban dan persahabatan khas di kalangan sebagian arek-arek Suroboyo.

Jancuk juga sebenarnya merupakan kata tunggal, bukan akronim. Tapi benarkah arti jancuk sebagai makian? Dalam buku Jiwo #ncuk, Sujiwo Tejo menuliskan #JANCUK adalah ungkapan beragam, dari kemarahan sampai keakraban, tergantung situasi dan kondisi. Karena nuansa jancuk bisa diartikan dari marah sampai guyon, Sujiwo Tejo menganggap kata itu bagus meredam hati kala panas.

Dia mencontohkan beberapa kata jancuk di buku itu, seperti, "Kalo kita ceplas-ceplos gak munafik, Pak SBY bisa pidato sambil tertawa, jancuk aku gak takut Malaysia. Tapi masyarakat kok asal njeplak (bicara) aja."

"Kalo jancuk dianggep gak sopan, setop peringatan Hari Pahlawan 10 November, karena gak mungkin Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo gak teriak jancuk."
Suwijo Tejo mengatakan jancuk lebih kaya nuansa daripada kata asu (anjing), bajindul." Kata tersebut khas Jawa Timur yang menjadi ungkapan geregetan yang beragam, dari marah sampai akrab.

Arjuno Resowiredjo dalam buku Menghijau di Kota Pahlawan: (Based On True Story) menuliskan jancuk adalah kata yang sangat akrab di telinga anak Surabaya. Sebagai orang Nganjuk, Arjuno sangat berhati-hati menggunakan kata itu. Sebab, kata itu sangat tabu di Nganjuk. Menurut dia, jancuk adalah kata kemesraan. Jadi jangan dinodai dengan nada mengumpat. Sebab, kata itu menjadi tidak baik.

Guna menelurusi lebih jauh terkait kata tersebut, Republika.co.id menemui Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM), DI Yogyakarta, Aprinus Salam, Rabu (6/2). Ia merawikan dalam sejarahnya, kata jancuk berasal dari sumber yang berbeda-beda.

"Ada yang mengatakan dari bahasa Arab, Belanda, Jepang, Cina, dan sebagainya. Artinya juga berbeda-beda tergantung rezim bagaimana kata tersebut diartikan," kata Aprinus.

Dia berujar, kata jancuk menjadi sesuatu yang khas saat ini. Kata itu dianggap dari bahasa Jawa Timur, seperti Surabaya, Jombang, Malang, Lamongan, atau mereka yang berbahasa arek. Jadi, seperti Kediri dan Nganjuk, secara kekhasan bahasa, daerah itu juga tidak terlalu akrab.

"Namun, dalam sejarahnya kemudian, kata jancuk banyak digunakan oleh orang Jawa yang bersentuhkan dengan kultur bahasa arek," ujar dia.

Menurut dia, hal yang perlu dipahami adalah, kata itu pada mulanya memang dimaksudkan sebagai pisuhan atau umpatan. Namun, apabila kata itu digunakan dalam konteks berbeda, misalnya saja dengan teman akrab, bisa menjadi kata keakraban. Misalnya, yok opo cuk kabare? (Bagaimana kabarmu?) Namun, kata itu memang lebih dominan sebagai kata pisuhan.

"Jadi, hal utama dan penting adalah konteks yang bagaimana kata tersebut digunakan, dan bagaimana kata tersebut diekpresikan. Konteks dan bagaimana kata tersebut diekpresikan tidak bisa dilepaskan bagaimana kata tersebut digunakan," tutur Aprinus.

Ia juga mengomentari frasa jancuk yang ramai dibicarakan setelah calon presiden Joko Widodo diberikan gelar 'Cak Jancuk'. Jokowi mendapat sebutan itu saat menghadiri acara Forum Alumni Jatim #01 di kawasan Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Jokowi mendapat panggilan itu dari pembawa acara Djadi Galajapo. Menurut Djadi, jancuk yang dialamatkan pada Jokowi merupakan akronim dari jantan, cakap, ulet, dan komitmen.

Terkait frasa 'cak jancuk', menurut Aprinus, perlu ditempatkan paling tidak dalam dua hal. Dalam konteks kontestasi politik, jelas kata tersebut dianggap sebagai pisuhan, umpatan. Dalam konteks kesetaraan dan keakraban, kata tersebut dapat diartikan sebagai peluang untuk melakukan egaliterisasi.

"Jadi, untuk kepastian maknanya, saya perlu melihat konteks dan bagaimana kata tersebut diekpresikan," kata dia.

Terlepas dari kedua hal tersebut, secara pribadi Aprinus mengingatkan kita perlu melihat dan menempatkan Jokowi sebagai presiden, kepala negara, atau minimal orang tua. Kita mengenal Jokowi karena merupakan figur publik paling terkenal di Indonesia. Namun, dia mengingatkan, masyarakat tidak mengenal Jokowi sebagai teman dekat yang akrab.

"Jadi, saya tetap keberatan jika kata tersebut difrasakan, karena rasanya kurang sopan, kurang etis," ujar Aprinus.
Dia menjelaskan, kurang sopan dan kurang etis bukan dalam pengertian bahwa frasa itu masuk dalam ujaran kebencian. Namun, dia hanya ingin orang Indonesia itu bahasanya terlihat cerdas, intelek, dan santun. (*).
sumber: republika.
T#gs
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments