Rabu, 20 Nov 2024
  • Home
  • antaranusa
  • Kebijakan Pemerintah, Muhammadiyah: Jangan Berlebihan Mengatur Majelis Taklim

Kebijakan Pemerintah, Muhammadiyah: Jangan Berlebihan Mengatur Majelis Taklim

Selasa, 03 Desember 2019 07:36 WIB

NASIONAL, - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir turut mengomentari perihal keputusan Menteri Agama Fachrul Razi terkait Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Menurut Haedar, pemerintah tidak boleh terlalu jauh mengatur kegiatan keagamaan seperti majelis taklim.

"Kalau serba diatur pemerintah secara detail atau berlebihan, nanti aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong dan aktivitas sosial di masyarakat luas, maupun kegiatan keagamaan lainnya harus diatur pula seperti itu. Tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim," kata Haedar Nashir dikutip dari Antara, Senin, 2 Desember 2019.

Kata Haedar, kegiatan keagamaan di ranah umat seperti Majelis Taklim justru dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi dan sangat positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.

"Soal perbedaan paham dan pandangan sejak dulu sering terjadi, yang paling penting kembangkan dialog agar masing-masing tidak ekstrem (ghuluw/melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam beragama dan tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama," kata dia.

Namun kata dia, jika ada aktivitas yang menyimpang dapat dilakukan dengan pendekatan hukum dan ketertiban sosial yang berlaku. Tidak perlu dengan aturan yang terlalu jauh dan bersifat mengeneralisasi.

Ia khawatir Permenag Majelis Taklim menjadi alat mengatur dan melarang majelis-majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kementerian Agama dalam hal ini KUA setempat. Sehingga menjadi instrumen untuk kepentingan golongan atau mazhab agama yang menyatu atau dominan dalam instansi pemerintah tersebut.

"Jika hal itu terjadi dimungkinkan akan memunculkan konflik kepentingan dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi pemerintah. Semuanya perlu keseksamaan dan kearifan," kata Haedar.

Terkait usaha mencegah radikalisme atau ekstrimisme sebenarnya ketentuan perundangan yang ada sudah lebih dari cukup. Karena itu dia berharap pemerintah tidak terlalu jauh mengatur aktivitas umat beragama.

"Kita sungguh tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada ekstrimisme dan membenarkan kekerasan atas nama apapun dan oleh siapapun. Namun semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisme yang objektif, komprehensif, serta tidak parsial dan diskriminatif," kata Haedar.

Haedar juga berpesan agar para pejabat publik jangan mudah mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada stigma atas kasus terbatas untuk digeneralisasi. Karenanya perlu dilakukan dialog dengan semua komponen bangsa demi kepentingan ke depan dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan yang lebih baik.

"Lagi pula jangan menggeneralisasi dan menjadikan umat Islam sebagai sasaran deradikalisasi secara sepihak, diskriminasi, dan dengan aturan yang monolitik seolah umat mayoritas ini menjadi sumber radikalisme dan ekstrimisme," kata Haedar.

Indonesia setelah reformasi sudah masuk era demokrasi, sebab itu kata dia, jangan dibawa lagi ke masa lalu yang serba diatur berlebihan. Apalagi pengaturannya secara sepihak dan cenderung diskriminatif.

"Tentu di era kebebasan ini semua pihak jangan pula menyalahgunakan demokrasi untuk segala aktivitas yang bertentangan dengan hukum, agama, moral, dan ketertiban sosial. Termasuk jangan mengembangkan paham dan ideologi apapun yang ekstrem, intoleran, dan membenarkan kebencian, permusuhan, kekerasan, serta bertentangan dengan

konstitusi dasar, ideologi, dan hukum negara yang sah di Republik Indonesia," ujarnya.

Semuanya, kata dia, harus merujuk pada nilai dasar Pancasila serta berbasis nilai utama agama dan kebudayaan luhur bangsa yang membawa kedamaian, ketertiban, kemaslahatan, dan kemajuan hidup bersama.

"Majelis Taklim maupun aktivitas keagamaan lainnya tentu harus tetap dalam spirit keislaman yang mendamaikan, mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan sehingga menjadi wahana dakwah yang rahmatan lilalamin," kata Haedar, dilansir medcom. (*).
T#gs
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments