Minggu, 10 Nov 2024

Di Taiwan, orang makan empat kali sehari

Senin, 31 Desember 2018 09:35 WIB

DUNIA, - Malam itu gelap dan kami basah kuyup di Pasar Malam Ningxia di Taipei, Taiwan. Namun, meskipun air hujan terus merembes ke kaus kaki saya, lorong-lorong sempit masih penuh dengan orang, berdesak-desakan.

Mereka berdesak-desakan untuk memesan di Li Zhang Bo, warung tahu berbau busuk yang dikelola oleh Yiwen Wang dan Qirong Li, yang menyatakan dirinya sebagai ratu dan raja bau Taiwan.

Hidangan khas mereka adalah tahu fermentasi yang digoreng kering dan disajikan di atas sayuran acar. Baunya akan membuat ruang ganti yang paling menyengat pun terasa seperti mawar.

Tapi tetap saja, antrean pelanggan setia berderet mengitari blok, membentang sejauh bau busuk itu menguar ke dunia luar. Rahasia kesuksesan mereka? Di sini, di Taiwan, pergi berburu tahu bau busuk di tengah malam adalah sebuah norma sosial, kata Wang.

Selamat datang di tempat peristirahatan pecinta makanan.

Sebagian besar negara mungkin hanya makan tiga kali sehari. Tapi Taiwan sangat memuja makanan, sehingga ada makanan keempat dan terakhir: camilan tengah malam, atau xiaoye dalam bahasa Cina.

Warung tahu berbau busuk yang digemari warga Taiwan.
Artinya, ketika sebagian besar orang di dunia bersantai setelah makan malam dan bersiap-siap tidur, orang-orang Taiwan bersiap-siap melakukan ritual larut malam mereka.

Terus terang saja, ritual ini artinya jalan-jalan dan makan sampai kancing jeans mereka robek karena kekenyangan. "Yang kami lakukan hanyalah makan," kata Wang.

Taiwan sangat serius soal 'waktu makan camilan'. Tidak perlu pergi ke kelab malam, kehidupan malam Taiwan yang berisik dan berantakan berpusat di dalam pasar malam yang tumpah ruah. Kedai bir mendesis dengan suara tumisan; dan tempat karaoke menawarkan makan sepuasnya.

Camilan tengah malam yang dikelola keluarga di Taiwan biasanya tidak menampilkan menu tak terbatas. Sebaliknya, mereka fokus pada satu jenis makanan yang disajikan terus menerus, demi memastikan 'kesempurnaan' setiap saat, demikian menurut Li.

"Di belakang setiap jajanan pasar malam, ada ketekunan si juru masak dan pelestarian tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bisa dikatakan bahwa rasa makanan yang lezat itu berasal dari kegigihan sang koki yang tulus," kata Li. Dia sendiri adalah generasi ketiga pemilik kedai jajanan tengah malam.

Bayangkan nektar tebu yang baru saja diperas, panekuk tiram, steak yang dibakar dengan obor las, teh susu mutiara dengan pemanis madu, dan sosis babi yang penuh lemak. Semuanya dimasak di tempat terbuka, tepat di depan pelanggan yang ngiler kegirangan saat melihatnya.

Dengan pengaruh sejarah dan kolonial Belanda, Spanyol, Jepang, dan kuliner Cina, beragam jenis makanan larut malam yang dapat ditemukan di Taiwan membawa kita bagai melompat-lompat melintasi benua. Belum lagi, jutaan imigran sesuai perang saudara Cina tahun 1949 membawa makanan daerah dari hampir setiap provinsi di Cina.

Taiwan penuh dengan cemilan tengah malam untuk dikunyah, lama setelah matahari menyelinap di bawah cakrawala, sampai dini hari. Jadi, jika New York adalah kota yang tidak pernah tidur, maka Taiwan adalah pulau yang tak pernah kenyang.

Ada beberapa hal yang membuat para kalong yang lapar di negara itu mencari-cari makanan di jalanan, kata profesor dari Universitas Normal Nasional Taiwan Yu-Jen Chen, yang memiliki pekerjaan yang membuat iri: meneliti budaya dan sejarah masakan di Taiwan.

Dia menjelaskan bahwa kata 'xiaoye' pertama kali muncul pada masa Dinasti Tang abad ke-9 untuk secara puitis menggambarkan kegiatan minum anggur untuk mengisi malam itu. Namun dari saat itu, ungkapan xiaoye kini telah mendapat makna baru.

Pada tahun 1950-an, xiaoye di Taiwan berevolusi menjadi pergerakan ekonomi bawah tanah di mana para pedagang secara informal berkumpul dan menjual barang-barang dan makanan sampai larut malam.

"Orang-orang memanfaatkan ekonomi malam hari yang berkembang ini untuk menghasilkan lebih banyak uang dan meningkatkan taraf hidup mereka," kata Chen.

Saat ini, bisnis camilan tengah malam telah berubah menjadi sesuatu yang lebih formal dan menjadi bagian dari budaya arus utama Taiwan.

Dari toko serba ada 24 jam hingga hiruk-pikuk skuter sepanjang malam, Taiwan adalah masyarakat tanpa tidur yang kehidupannya secara perlahan-lahan bergeser menuju larut malam.

Menurut Kementerian Tenaga Kerja Taiwan, orang-orang bekerja berjam-jam dan menyaingi rekor jam kerja Jepang dan Korea, rata-rata "hanya" di bawah 170 jam per bulan di Taiwan. Siswa muda seringkali belajar hingga lebih dari pukul 20:00 di sekolah cram (bimbingan belajar setelah sekolah).

Namun bagi orang luar, budaya xiaoye hanyalah pengantar untuk adegan kuliner Taiwan, begitu menurut Chen. "Jika saya menggambarkan pasar malam Taiwan, saya akan mengatakan renao," katanya.

Renao adalah aspek kehidupan 'panas dan bising' yang tidak dapat diterjemahkan di Taiwan. Renao yang dihargai oleh banyak orang, adalah fenomena sosial yang mengakar kuat di dalam komunitas Taiwan, menurut sebuah studi tahun 2008 dari Jurnal Pemasaran dan Logistik Asia Pasifik.

Gagasan di balik renao, yang digunakan untuk menggambarkan tempat semarak yang penuh dengan kegembiraan, bagaikan sebuah tempat suci dengan cahaya terang, dan kebersamaan sosial yang didorong oleh endorfin yang melonjak di keramaian.

Idenya tidak berbeda dengan perasaan ketika mengantre untuk iPhone terbaru saat Black Friday di AS. Perasaan kolektif "renao" itulah apa yang dirasakan orang ketika mereka turut serta dalam nilai-nilai komunal tradisional Taiwan, seperti keluarga atau agama.

Segala macam makanan dan jajanan bisa ditemui di pasar malam Taiwan.
Itulah sebabnya sebagian besar, jika tidak semua, pasar malam dan makan malam di Taiwan berpusat di sekitar kuil, Chen menjelaskan. Setelah beribadah, orang akan sering berkumpul dan menikmati kebersamaan sebagai sebuah komunitas. Itu sebabnya bahkan desa-desa terkecil di Taiwan pun memiliki pasar malam yang ramai.

Ditambah lagi, renao telah lama diekspresikan dalam sejarah Cina kuno. Renao menunjukkan kegiatan penuh kemeriahan seperti pesta, festival, dan kumpul-kumpul yang penuh sesak sampai tidak ada tiupan angin yang terasa.

"Orang-orang hadir bukan hanya karena makanannya, tetapi karena makanan itu juga menciptakan suasana yang hidup dan unik," kata Leslie Liu, seorang blogger makanan terkenal di Taipei.

Kembali ke Li Zhang Bo, Li si pemilik kedai tahu yang bau itu seperti tanda seru berjalan. Saat itu pukul 23:00 tetapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Juga tidak ada barisan orang yang keluar pintu. Li sedang mengobrol dengan para pelanggan yang menunggu, mereka yang sudah datang selama beberapa dekade.

"Luar biasa," kata Bu-Luo Hsin, pelanggan yang baru pertama kali datang, ketika dia menggigit kulit tahu yang renyah, garing, digoreng kering. Dia menggambarkannya sebagai "kelembutan" yang meleleh di mulut pada bagian dalamnya, dan "renyah dan gurih" di luar.

Warung Li Zhang Bo adalah salah satu restoran yang punya banyak cerita, sebab restorannya dimiliki dan dikelola oleh keluarga yang sama selama tiga generasi.

Itulah yang disebut oleh Hsin sebagai "restoran lalat". Dari luar nampak sangat biasa, tapi kekurangan dalam hal dekorasi dibayar oleh rasanya yang luar biasa, yang membuat orang mengerubunginya seperti lalat setiap malam.

Malam hari bukanlah hal yang membatasi aktivitas di sini. Di Taiwan, lagipula tidak ada yang namanya perut penuh. Demikian di lansir BBC Travels. (*).
T#gs
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments