- Home
- internasional
- Kisah perempuan Muslim yang memperjuangkan haknya sebagai seorang pelacur
Kisah perempuan Muslim yang memperjuangkan haknya sebagai seorang pelacur
Administrator Minggu, 14 Oktober 2018 11:20 WIB
DUNIA, - Kalangan Muslim miskin di India mendesak otoritas setempat turun ke jalanan untuk melihat sendiri para perempuan yang dikucilkan dari lingkungan masyarakat.
Kala itu, tanggal 1 Mei 1958, di sebuah ruang sidang di kota Allahabad, India utara, semua mata tertuju pada sosok perempuan muda berusia 24 tahun bernama Husna Bai.
Husna mengatakan kepada Hakim Jagdish Sahai bahwa dirinya adalah seorang pekerja seks komersial, seorang pelacur. Ia mengajukan petisi yang menggugat keabsahan undang-undang baru yang melarang perdagangan manusia.
Husna Bai berpendapat, aturan baru tersebut telah "mengacaukan tujuan negara kesejahteraan yang ditetapkan oleh Konstitusi di negara ini", karena mengancam mata pencahariannya sebagai seorang PSK.
Ini tindakan pembangkangan publik yang radikal dari seorang PSK Muslim kelas bawah. Tindakan itu memaksa para hakim untuk terjun langsung ke jalanan melihat sendiri para pelacur, pada masa ketika mereka dikucilkan dari lingkungan masyarakat.
Menurut catatan resmi, pada tahun 1951 itu jumlah pelacur di sana turun dari 54.000 orang menjadi 28.000 orang. Begitu juga dukungan masyarakat umum. Ketika para pelacur hendak memberikan sumbangan dana kepada partai Kongres, Mahatma Gandhi menolak dan justru meminta mereka untuk memintal kain.
Padahal mereka adalah satu di antara beberapa kelompok orang yang berhak memilih karena mereka memiliki penghasilan, membayar pajak dan memiliki properti.
Tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan pribadi Husna Bai yang tinggal bersama sepupu perempuan dan dua adik laki-lakinya yang bergantung pada penghasilannya. Sayangnya, dari berbagai arsip yang bisa ditelusuri, tak satu pun foto yang ditemukan.
Namun kisah yang banyak dilupakan adalah bagaimana Husna Bai memperjuangkan hak-haknya sebagai PSK yang merupakan bagian yang paling menarik dari sebuah buku karya sejarawan Rohit De yang diterbitkan oleh Universitas Yale.
Buku berjudul A People's Constitution: Law and Everyday Life in The Indian Republic membahas bagaimana konstitusi India, terlepas dari "penulisan berlatar kaum elit dan pandangan mereka, ternyata menyerap kehidupan dan imajinasi sehari-hari di India selama transisi dari negara kolonial ke sebuah republik demokratis".
Kurangnya materi arsip membuat De harus mengandalkan catatan pengadilan untuk mengumpulkan kisah Husna Bai sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar yang dilakukan kaum perempuan di negara itu.
Namun petisi Bai ini menuai banyak perhatian dan sekaligus memicu kecemasan.
Para birokrat dan politisi berdebat sengit soal ini meninggalkan "segunung berkas-berkas". Sekelompok pelacur di Allahabad dan perkumpulan Dancing Girls Union tampil memberikan dukungan.
Banyak petisi serupa di pengadilan yang diluncurkan oleh para pelacur di kota Delhi, Punjab, dan Bombay.
Begum Kalawat, seorang pelacur yang tinggal di negara bagian Bombay menggugat ketika diusir dari sebuah kota setelah ada laporan bahwa ia menjajakan seks di dekat sebuah sekolah.
Ia membawa kasusnya ke pengadilan tinggi, dan menyatakan bahwa pengusiran itu telah melanggar haknya terkait kesetaraan, kebebasan bertransaksi dan gerakannya.
Undang-undang baru itu membuat para pekerja seks was-was dengan masa depan mereka. Mereka menggalang dana dari para pelanggan dan pengusaha setempat untuk membatalkan aturan baru di pengadilan.
Sekitar 75 perempuan yang mengaku sebagai anggota serikat penyanyi dan penari profesional, menggelar demonstrasi di luar gedung parlemen di ibukota, Delhi. Mereka mengatakan kepada para anggota parlemen bahwa tindakan keras terhadap profesi mereka akan membuat pelacuran merembet ke kawasan-kawasan yang dianggap terhormat.
Sekitar 450 perempuan yang terdiri dari penyanyi, penari bahkan perempuan yang 'yang mempunyai reputasi buruk' membentuk serikat untuk menentang aturan baru itu. Sekelompok penari di Allahabad mengumumkan akan mengadakan demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap UU itu karena "telah melanggar hak-hak profesi yang sudah dijamin konstitusi."
Para pekerja seks komersil di distrik lampu merah yang ramai di Calcutta mengancam akan melakukan aksi mogok makan jika pemerintah tidak menyediakan mata pencaharian alternatif bagi 13.000 pekerja seks di sana.
Polisi dan pemerintah menyatakan keprihatinan mereka atas petisi Husna Bai. Tidak mengherankan, aturan itu mendapat perlawanan sengit dari para perempuan anggota parlemen dan pekerja sosial yang memimpin kampanye untuk legislasi melawan perdagangan manusia.
Para penentangnya, kata De, "terperanjat mendengar bagaimana para pekerja seks itu mendasarkan upaya mereka pada prinsip-prinsip konstitusi".
"Petisi Husna Bai dan petisi-petisi serupa lainnya sesudah itu tampak sebagai serangan terhadap agenda progresif dari republik yang baru."
Majelis konstituen India -yang di dalamnya ada sejumlah perempuan yang berpengalaman dalam pengorganisasian- berpendapat bahwa perempuan tidak memilih untuk menjadi pelacur dan mereka terjerumus pada profesi itu karena berbagai keterpaksaan.
Tampaknya sangat mengguncangkan mereka bahwa para pelacur itu justru menuntut hak mereka yang fundamental untuk melanjutkan usaha mereka dan meneruskan 'kehidupan tanpa martabat" itu.
"Mengkajinya lebih dekat, jelas ini bukan sebuah tindakan perlawanan heroik individu, melainkan bagian dari langkah dari kelompok dalam ikatan longgar yang terlibat dalam perdagangan seks di seluruh India," kata De.
"Jelas bahwa undang-undang baru ini memperberat tekanan pada mereka yang terlibat dalam perdagangan seks yang sebelumnya sudah mereka derita, dan mengancam praktik-praktik yang sudah lama berlangsung."
Petisi Bai ditolak dalam tempo dua minggu karena alasan teknis bahwa haknya tidak dihambat oleh undang-undang baru itu - ia tidak tergusur dari rumah bordil, juga tidak ada yang mengadukannya secara pidana. Hakim Sahai mengatakan alasan Bai tentang penggusuran itu benar, tetapi sang hakim tidak berbicara lebih jauh.
Dan akhirnya, Mahkamah Agung menyatakan undang-undang itu secara konstitusional masuk akal, dan mengatakan para PSK tidak dapat menikmati hak-hak mereka tanpa batas. (bbc/indonesia/net/*).
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments