- Home
- internasional
- Paus ini mati ditengarai karena Makan Sampah di Laut?
Paus ini mati ditengarai karena Makan Sampah di Laut?
Rabu, 21 November 2018 07:09 WIB
DUNIA, - Warga Pulau Kapota di Desa Kapota Utara, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia, dikejutkan dengan ditemukannya paus terdampar di pantai yang berjarak 2 km dari pemukiman warga, Ahad (18/11/2018).
Paus dari jenis sperm whale ini ditemukan sekitar pukul 16.00 sudah dalam kondisi membusuk (kode 4). Warga yang kemudian membelah perut paus terkejut menemukan banyaknya sampah di dalam perutnya.
"Berdasarkan hasil peninjauan lapangan, jenis paus yang terdampar merupakan Paus Sperma (Physeter macrocephalus) dengan ukuran panjang 9,5 meter dan lebar 437 cm dalam keadaan mati dan sudah mulai membusuk," jelas Laode Ahyar T. Mufti, Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional (BTN) Wakatobi ketika dihubungi Mongabay, Senin (19/11/2018).
Menurut Ahyar, keberadaan Paus terdampar itu diketahui Minggu malam dari laporan Staf WWF SESS. Berdasarkan laporan tersebut, Personil SPTN Wilayah I bersama dengan WWF SESS, Tim Dosen Akademi Komunitas Perikanan dan Kelautan (AKKP) Wakatobi dan masyarakat sekitar melakukan peninjauan lapangan pada Senin (19/11/2018) pagi.
Tika Sumolang, MPA and Biodiversity Officer WWF untuk Program SESS, yang langsung terjun ke lokasi menjelaskan bahwa kondisi paus sudah dipotong-potong warga ketika mereka tiba. Meski ditemukan banyak sampah plastik, namun ia belum bisa memastikan hal itu sebagai penyebab kematian paus tersebut.
"Belum bisa dipastikan. Teman-teman sekolah perikanan di Matahora sudah ambil sampel plastik dari perutnya untuk diteliti," katanya.
Bangkai paus itu direncanakan dikubur Selasa (20/11/2018), di sekitar pantai Kolowawa Desa Kapota Utara saat air pasang sehingga memudahkan menarik bangkai ke darat. Penguburan dilakukan guna mendapatkan spesimen Paus untuk bahan pendidikan dan penelitian di kampus AKKP Wakatobi.
Sebuah video amatir yang beredar di grup WhatsApp memperlihatkan kondisi mengenaskan Paus tersebut.
"Sampah di perut paus ini ada sendal, botol plastik, botol parfum, gelas plastik, tali rafia, penutup galon. Sampahnya juga bukan sampah segar, kemungkinan sudah lama di dalam perut paus ini," ujar Saleh Hanan, aktivis Yayasan Wakatobi, yang turut dalam evakuasi paus ini dalam video tersebut.
Saleh memperkirakan penyebab kematian paus itu karena sampah plastik yang yang jumlahnya cukup besar, sekitar 5,9 kg.
"Bisa jadi sampah plastik ini jadi penyebab kematiannya. Semua makhluk itu kalau bukan makanannya pasti akan mati. Logikanya begitu, sederhana saja. Saya pernah menulis ini sepanjang perairan ini tentang laut darurat sampah. Ini tak bisa lagi dibantah, paus ini mati karena sampah," katanya.
Menurut laporan tertulis yang disampaikan BTN Wakatobi, hasil identifikasi isi perut paus yang dilakukan di Kampus AKKP Wakatobi sampah plastik yang ditemukan di dalam perut paus tersebut berupa gelas plastik 750 gr (115 buah), plastik keras 140 gr (19 buah), botol plastik 150 gr (4 buah), kantong plastik 260 gr (25 buah), serpihan kayu 740 gr (6 potong), sandal jepit 270 gr (2 buah), karung nilon 200 gr (1 potong), tali rapia 3.260 gr (lebih dari 1000 potong). Total berat basah sampah adalah 5,9 kg.
Sedangkan Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, Andry Indryasworo Sukmoputro, menyatakan masih berkoordinasi dengan pihak TN Wakatobi, karena terjadi di wilayah kerjanya.
Terkait kemungkinan penyebab Paus tersebut, Andry menyatakan belum bisa memastikan sebelum ada penelitian lebih lanjut. Begitu pun dengan sumber sampah yang berada di perut paus tersebut belum bisa dipastikan berasal dari perairan Wakatobi.
"Menurut saya, karena sperm whale ini termasuk biota laut yang bermigrasi cukup jauh tentunya tidak menjadi judgement bahwa sampah plastik di Indonesia sebagai penyebabnya."
Dijelaskan Andry bahwa makanan sperm whale ini sendiri terdiri dari banyak organisme perairan dalam. Salah satu mangsa utamanya adalah cumi-cumi besar dengan berat antara 3,5 ons dan 10 kilogram. Selain itu Paus ini juga memakan hiu demersal dan ikan.
"Bisa jadi di mereka menemukan sampah-sampah tersebut di daerah lain yang dianggapnya sebagai makanan. Oleh karena itu kampanye pengurangan marine debris harus terus digalakkan apalagi pasca penyelenggaraan Our Ocean Conference ke-5 di Bali beberapa waktu yang lalu," katanya.
Penyebab Kematian
Sedangkan Koordinator Nasional Konservasi Spesies Laut WWF-Indonesia Dwi Suprapti yang juga dokter hewan menduga paus sperma itu mati akibat sampah plastik. Namun ia belum dapat menyimpulkan dikarenakan tidak melakukan nekropsi langsung dan belum mendapatkan informasi detail.
"Sehingga tidak mengetahui secara pasti titik persebaran sampah tersebut disaluran pencernaannya dan bagaimana kondisinya, apakah menyumbat, menginfeksi dan lain sebagianya," katanya kepada Mongabay-Indonesia, Senin (19/11/2018).
Pada beberapa kasus mahluk hidup dapat mengeluarkan benda asing secara alamiah asalkan jumlahnya tidak banyak, tidak menyumbat saluran pencernaan serta tidak menginfeksi atau bahkan meracuni tubuhnya. Sedangkan paus sperma di Wakatobi terdapat sampah plastik basah seberat 5,9 kg.
"Untuk itu adanya indikasi kematian disebabkan oleh asupan cemaran plastik sampah tersebut bisa saja terjadi, namun tidak dapat dipastikan karena tidak dilakukan pengamatan yang komprehensif," ujarnya.
Pengamatan komprehensif yang tidak bisa dilakukan dikatakan dia dikarenakan kondisi paus sudah kode 4 atau pembusukan tingkat lanjut. Kemudian kondisi paus yang sudah tidak utuh, pembedahan (nekropsi) tidak dilakukan oleh tenaga ahli sehingga analisanya terputus sampai proses temuan saja.
Dwi menyarankan jika ada kejadian paus terdampar, sebaiknya tempat kejadian peristiwa harus dalam kondisi steril (tidak ada aktifitas yang mengubah kondisi bangkai) dan segera menghubungi pihak terkait seperti BKSDA, Kepolisian, BPSPL dan dokter hewan forensik.
"Agar jejak informasi dapat terkoleksi dengan baik. Kami juga dari WWF menghimbau kepada masyarakat sebaiknya untuk tidak mendekati bangkai paus tanpa menggunakan pelindung diri (Personal protect equipment/PPE) misalnya masker, sarung tangan dan jas plastic," kata Dwi.
Karena bangkai paus dapat menularkan bibit penyakit, berupa bakteri, virus, maupun mikrobial lainnya. "Terlebih kondisi paus yang sudah mengalami pembusukan tingkat lanjut sehingga bakteri-bakteri pembusuk juga dapat masuk ke tubuh manusia baik akibat kontak langsung maupun masuk melalui saluran pernafasan. Sehingga dapat dimungkinkan timbulnya berbagai penyakit baik itu berupa gejala alergi, demam tinggi maupun infeksi," tambahnya.
Senada dengan Dwi, Putu Mustika dari LSM Cetasi (Cetacean Sirenian Indonesia) yang juga Adjunct Research Fellow pada James Cook University Australia menduga paus sperma mati karena kelaparan yang diduga karena banyaknya sampah di pencernaannya. Icha, sapaan akrabnya, menduga setelah melihat dari foto-fotonya yang paus sperma itu terlihat kurus sekali (emaciated).
"Kemungkinan besar dia mati karena kelaparan, dan bisa jadi karena sampah tersebut, mungkin menyumbat lambungnya atau menyumbat saluran pencernaannya sehingga tidak menyerap makanan dengan baik," kata Icha yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Senin (19/11/2018).
Penyebab kematian (cause of death), lanjutnya, karena kelaparan dengan kondisi yang menyebabkan kematian (circumstances of death) karena banyaknya sampah plastik dalam organ pencernaan paus sperma itu.
Peristiwa matinya paus sperma dengan 5,9 kg sampah plastik, lanjut Icha, menjadi momen penting bagi semua pihak untuk memerangi sampah plastik, termasuk di lautan.
"Paus ini menjadi catatan parahnya kondisi lautan Indonesia. Sampah plastik memang paling sulit ditangani. Yang penting kita berusaha. Tiga pilar yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk menangani sampah bersama," katanya.
Sampah Wakatobi
Akhir 2017, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengunjungi Pulau Wakatobi. Ketika berkeliling, Susi menemukan banyak sampah plastik mengapung lautan.
Ia pun meminta warga secepatnya mengangkut sampah-sampah itu. Bahkan menjanjikan uang Rp5 juta jika mau kerja bakti membersihkan sampah-sampah.
Menurut Martina Rahmadani, Responsible Marine Tourism Officer WWF Sulawesi Tenggara di Wakatobi, menjelaskan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan di beberapa titik pesisir Wakatobi, memang ditemukan persentase sampah plastik cukup banyak di wilayah pesisir, meski belum bisa dipastikan dari mana asalnya.
"Untuk sumber sampah tersebut kami belum ada analisa apakah bersumber dari penduduk atau dari kapal-kapal yang melintas atau bawaan arus. Itu belum kita bisa simpulkan. Kami masih sebatas baseline data saja, untuk analisis kan butuh modeling dan sebagainya. Itu belum kita lakukan." Data sampah di Wakatobi tersebut dilaporkan ke pemerintah daerah
Di Wakatobi, kondisi sampah akan sangat tergantung pada musim. Pada musim barat, sampah akan banyak ditemukan di bagian barat, begitu pun ketika angin timur.
"Tidak bisa dikatakan juga bahwa Wakatobi sebagai penghasil sampah plastik. Sampah di lautan kan mengikuti arah arus ombak dan tiupan angin," tambahnya.
WWF sendiri saat ini salah satu fokusnya pada penanganan sampah plastik di laut ini, termasuk pengolahan sampah menjadi produk yang bisa dimanfaatkan, misalnya dengan mendorong adanya bank sampah dan enterpreunership.
"Kita jelaskan dampak sampah plastik dan bagaimana mengelolanya menjadi hal yang bernilai ekonomis. Kita dengan akademisi dan komunitas menyuarakan ini di setiap pertemuan," tambah Martina. (mgb/*).
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments