Minggu, 24 Nov 2024
  • Home
  • internasional
  • Pinjaman online dan penyebaran data nasabah: Aksi rentenir digital

Pinjaman online dan penyebaran data nasabah: Aksi rentenir digital

Administrator Minggu, 11 November 2018 15:16 WIB

NASIONAL, - Kisah-kisah dari nasabah pinjaman online, yang mengeluhkan perilaku para penagih utang karena dianggap melanggar privasi, banyak ditemukan di media sosial. LBH Jakarta membuka posko pengaduan hingga 25 November untuk menampung keluhan nasabah.

Bukan pertama kalinya Agustin Cahyani, 23, meminjam uang di salah satu aplikasi pinjaman online (pinjol). Namun pinjamannya sebesar Rp1,8 juta pada akhir September 2018 lalu yang seharusnya jatuh tempo dalam 13 hari belum bisa dibayarnya.

Meski meminjam Rp1,8 juta, uang yang diterimanya - dengan berbagai potongan administrasi - hanyalah Rp1,3 juta, dan dia kemudian harus mengembalikan Rp1,9 juta.

"Mertua saya kan operasi, saya sudah bilang bahwa saya kena musibah, mereka nggak mau tahu. Daripada debat, saya tidak merespons. Tapi ya karena keadaan keuangan belum memungkinkan untuk membayar karena bunganya bertambah-bertambah, kalau ada telepon, nggak diangkat," kata Agustin pada BBC News Indonesia, Selasa (06/11).

Satu minggu lalu, teman suami Agustin mulai bertanya-tanya. Dari situ kemudian dia tahu bahwa pihak penagih telah menyebar informasi tentang pinjaman mereka ke orang-orang di daftar kontak di telepon suaminya. Salah satu konsekuensi dari penyebaran itu, suami Agustin dikeluarkan dari toko tempatnya bekerja.

Saat data suaminya disebar, Agustin kemudian berusaha beberapa kali menghubungi nomor yang melakukan penyebaran tersebut, dan dia dibalas dengan kata-kata kasar.

Dia mengatakan bahwa telah meminta agar uangnya diambil di rumah dan agar nama baik suaminya dikembalikan. Namun kini nomor Agustin diblok oleh si penagih utang.

"Saya kan nggak ingin orang-orang tahu, saya takut nanti jadi omongan, sampai ke mertua nanti tambah stroke lagi. Itu sebar data sudah di semua kontak WA suami saya, jadi semua orang itu tanya ke saya. Jadi saya bilang nomor suami dibajak," kata Agustin.

Setiap hari, pinjamannya bertambah Rp80.000, sementara upah suaminya sebagai pencari dan tukang muat pasir sehari adalah Rp75.000. Agustin sendiri sehari-harinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.

Dia membagikan kisah penyebaran data suaminya itu di salah satu grup Facebook yang digunakan sebagai tempat berkumpul para nasabah pinjaman online.

Di media sosial, juga muncul keluhan-keluhan dari mereka yang turut ditagih utang meski bukan pihak yang meminjam uang.

Sementara itu, menurut Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Fernandus Setu, pihaknya memang mendapat laporan dari masyarakat, baik melalui email pengaduan konten, akun Instagram serta Twitter mereka.

Tetapi untuk penindakan lewat bentuk pemblokiran, mereka harus menunggu permintaan resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai instansi pengawas dan pengatur, karena aplikasi pinjaman online yang masuk dalam kategori fintech adalah "ranah kolaborasi" antara dua institusi tersebut.

Sebelumnya, atas permintaan OJK, pada September 2018, Kemenkominfo pernah melakukan pemblokiran sekitar 200 aplikasi fintech yang terbukti sebagai praktik bentuk penipuan.

Meski kini mereka mengakui menerima banyak keluhan masyarakat soal aplikasi pinjaman online, Kemenkominfo belum bisa melakukan tindakan apa-apa karena belum ada permintaan dari OJK.

Menurut Fernandus, Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik memang mengatur bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik wajib mengelola data pribadi para pelanggan dan penggunanya dengan baik, mulai dari perolehan, proses, penyimpanan bahkan sampai penghapusan.

"Kita harus mendapat approve atau consent atau persetujuan si pemilik data pribadi," kata Fernandus.

Dalam praktik aplikasi pinjaman online, memang proses pengambilan data pribadi sudah masuk dalam syarat dan ketentuan di awal penggunaan aplikasi, yang kemudian seringnya tanpa disadari oleh pengguna, telah mereka setujui.

Untuk soal ini, Fernandus menyatakan, ketika pengguna sudah menyetujui atau menerima syarat dan ketentuan aplikasi, "berdasarkan peraturan menteri berarti mereka sudah consent (setuju)."

Meski begitu, untuk praktik penyebaran data pribadi dalam penagihan pinjaman online, Fernandus mengatakan, "Sudah berlebihan. Menurut saya sudah melampaui apa yang kita maksud sebagai consent, sebagai persetujuan tadi. Belum saya lihat secara serius, tapi pandangan umumnya, ini terlalu berlebihan, kalau seandainya benar ya, dan berpotensi melanggar ketentuan perlindungan data pribadi." (bbc/ind/net/*).
T#gs
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments