- Home
- antaranusa
- Diskriminasi Tiada Henti Uni Eropa Terhadap CPO RI
Diskriminasi Tiada Henti Uni Eropa Terhadap CPO RI
Senin, 04 Februari 2019 16:59 WIB
NASIONAL, - Diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit (CPO) asal Indonesia tidak pernah berhenti. Mulai dari isu bahwa CPO berasal dari perkebunan yang berdiri di atas lahan hasil deforestasi hingga dampak buruk CPO terhadap kesehatan.
Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) menilai Uni Eropa semakin mendiskriminasi minyak kelapa sawit dari minyak nabati global lainnya beberapa waktu belakangan.
Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar mengungkapkan, Uni Eropa diketahui menunda implementasi delegated act (aturan pelaksanaan) kebijakan Renewable Energy Directives (RED) II yang sejatinya diberlakukan 1 Februari lalu.
"Alasan pastinya kami tidak tahu, tapi dugaan kami ada pertimbangan lain dari pihak Uni Eropa untuk melihat lebih jauh supaya delegated act tadi tidak bertentangan dengan aturan WTO," ujar Mahendra dalam konferensi pers di Kemenko Perekonomian, Senin (4/2/2019).
Kendati demikian, dia menyebut ada kebijakan dari Uni Eropa yang sudah mengklasifikasikan produk minyak kedelai AS sebagai minyak nabati yang beresiko rendah (low risk) terhadap ILUC.
"Ini mengundang pertanyaan lebih jauh karena mereka putuskan terlebih dahulu dan tidak disandingkan secara ilmiah, tapi kelihatannya secara politis. Ini semakin menggerus kredibilitas RED II dan ILUC sendiri," jelas Mahendra.
Diskriminasi Tiada Henti Uni Eropa Terhadap CPO RIFoto: Rapat koordinasi membahas kelapa sawit dan keanekaagaman hayati di kantor Kemenko Perekonomian. CNBC Indonesia/Andrean Kristianto
Seperti diketahui, ILUC (indirect land-use change) adalah metode yang digunakan Uni Eropa dalam RED II untuk menentukan besar/kecilnya resiko yang disebabkan tanaman minyak nabati terhadap alih fungsi lahan dan deforestasi.
Metode ini dikritik oleh banyak negara karena dianggap tidak diakui secara universal. Kelapa sawit sendiri dianggap beresiko tinggi (high risk) terhadap kerusakan lahan dan deforestasi.
"Menariknya, Uni Eropa sudah memberikan dispensasi ke AS saat delegated act-nya bahkan belum terbit, sekitar seminggu lalu. Jadi ini benar-benar politis. Ini bukti yang valid untuk dibawa ke Badan Sengketa WTO," imbuhnya.
Sebagai informasi, Indonesia, Malaysia dan beberapa negara produsen sawit lainnya anggota CPOPC meminta klarifikasi dan transparansi kepada Uni Eropa terkait kebijakan RED II dan metode ILUC yang akan diterapkan melalui WTO, karena dianggap menerapkan hambatan perdagangan non-tarif (technical barriers to trade).
"Kita sudah sampaikan pernyataannya, tapi sampai saat ini belum dijawab. Dan untuk dibawa ke Badan Sengketa, harus menunggu kebijakan itu berlaku, bukan sebelumnya. Jadi karena ini ditunda ya belum bisa," pungkasnya.
Bertempat di Kemenko Perekonomian, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) melaporkan studi Kelapa Sawit dan Keanekaragaman Hayati. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono merespons positif studi itu.
Studi IUCN yang dibiayai Bank Dunia ini, menurut dia, memberikan sentimen positif bagi industri sawit karena menyimpulkan bahwa sawit tidak serta-merta selalu menjadi penyebab utama deforestasi. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit tidak selalu menjadi penyebab utama punahnya keanekaragaman hayati.
"Selama ini, pasar global selalu menuduh minyak sawit terkait dengan deforestasi. Ini penting untuk menyeimbangkan kebijakan RED II Eropa menjelang diberlakukan. Aturan itu kemungkinan besar mendiskriminasi sawit karena sawit dianggap beresiko tinggi terhadap alih fungsi lahan dan deforestasi, yang secara ilmiah tidak terbukti. Ini hanya political excuses," jelas Joko.
Joko menjelaskan, Uni Eropa telah berusaha membatasi penggunaan minyak sawit dan produk turunannya sejak lama, tepatnya sejak kebijakan RED I diterapkan. Saat itu, minyak sawit dikatakan tidak memenuhi aturan gas rumah kaca, sementara minyak nabati lain memenuhi syarat.
"Padahal faktanya studi mengatakan bahwa sawit kita juga bisa memenuhi syarat dan bisa masuk serta diterima di pasar Eropa. Lalu mereka berlakukan tarif dumping sampai akhirnya kita pun menang di WTO. Sekarang mereka khawatir lagi dan akan memberlakukan kebijakan RED II dengan aturan yang lebih berat lagi," tambahnya.
Joko meyakini, kebijakan ini akan sangat memberatkan ekspor produk sawit ke Eropa karena kemungkinan besar akan memberikan semacam hambatan perdagangan non-tarif.
"Selama ini kita bisa memenuhi kebutuhan pasar Eropa secara B2B [business to business], tapi kalau regulasi di sana membatasi tentu akan lebih berat buat kita," imbuhnya.
Joko menyebutkan, pasar Eropa mengimpor sekitar 9 juta ton hingga 10 juta ton CPO dan produk turunannya dari total ekspor 30 juta hingga 32 juta ton per tahun. Kendati demikian, Indonesia sudah memiliki pasar alternatif yang bisa menyerap jumlah tersebut.
"Kita punya pilihan pasar ekspor ke depannya," katanya.
Simak video terkait penundaan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II Uni Eropa di bawah ini. (CNBC/*).
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments