- Home
- antaranusa
- Menelusuri Wirid Duh Gusti dalam Lagu yang dibawakan Kiai Kanjeng Sebagai Aktivasi Malaikat
Menelusuri Wirid Duh Gusti dalam Lagu yang dibawakan Kiai Kanjeng Sebagai Aktivasi Malaikat
Selasa, 05 November 2019 08:38 WIB
Duh Gusti, mugi paringo ing margi kaleresan
Kados margineng menungso kang manggih kanikmatan
Sanes margining menungso kang paduko la'nati
Demikian lantunan wirid yang dibawakan Caknun bersama dengan Kiai Kanjeng.
Diambil dari arti QS Al Fatihah Artinya (Duh Gusti Wahai Allah) tunjukkan kami jalan yang tepat dan benar, seperti jalan orang-orang yang telah berjumpa kenikmatan-Mu, bukan seperti jalan orang-orang yang telah engkau laknat.
1. Mendalami Wirid Duh Gusti.
Duh Gusti mugi paringo ing margi kaleresan//Kados margine manungso kang panggih kanikmatan//Sanes margine manungso kang Paduko laknati.
Tiga baris kalimat di atas jika sekedar dibaca artinya sangat biasa. Dirapal dengan lisan pun maknanya juga biasa. Kalimat yang gampang diketahui artinya. Kalimat terjemahan tiga ayat terakhir dari surat Al Fatiha. Ihdinas shirotol mustakim//sirotolladzina an amta alaihim ghoiril maghdubi alaihim waladhloollin. Artinya (Wahai Allah) tunjukkan kami jalan yang tepat dan benar//Seperti jalan orang-orang yang telah berjumpa kenikmatanmu//Bukan seperti jalan orang-orang yang telah Engkau laknat.
Wirid Duh Gusti yang berbahasa Jawa tersebut diabadikan Kiaikanjeng dari ibunya Pak Novi Budianto. Kekuatan makna wirid Duh Gusti baru tergugah setelah dilantunkan dengan aransemen musik Kiaikanjeng. Racikan nada yang pas serta dilantunkan secara kolosal terasa melesap ke relung-kedalaman jiwa. Apalagi dituangkan dengan pengondisian ruang dan audiens yang tepat, dalam situasi khusyu', senyap, akan gampang menghentakkan makna pada kesadaran larik kalimat. Dengan musik dan dilantunkan secara berkolosal wirid Duh Gusti tidak sekedar dibaca sebagai kalimat, tidak sekedar diucapkan sebagai bahasa lisan. Tetapi makna dan auranya merasuk ke dalam kesadaran atas makna tersebut dan menjadi motivasi yang jelas kenapa wirid itu dirapal.
Ada beberapa alternatif untuk memasuki wirid Duh Gusti lebih mendalam. Di antaranya pertama: melantunkan secara seksama dan bersama dengan Cak Nun dan Kiaikanjeng dalam forum maiyah. Suasana bersama Cak Nun dan Kiaikanjeng menguatkan kekhusyukan tersendiri. Kedua: mendengarkan rekaman wirid Duh Gusti serta didengarkan berulang-ulang. Cari ruang dan moment yang tepat, dalam arti mengondisikan situasi bathin.
Tujuannya menepatkan dengan situasi bathin supaya energi yang tergali, kemudian diaktivasi dalam jasad dan ruh bisa terfokus. Ketiga: rapal wirid Duh Gusti sesering mungkin, seingat mungkin, bisa sambil beraktivitas, di sela-sela kerja atau menjadi nyanyian lirih utama setiap detik.
Kalimat pertama: Duh Gusti mugi paringo ing margi kaleresan. Wahai Tuhan, mohon tepatkan kami pada jalan yang lurus. Sebab hidup yang kami tempuh masih panjang, masih luas tak terbatas hingga anak cucu mendatang. Sementara kami tidak mampu sedikitpun menguasai ketepatan nilai setiap detiknya, apakah kami tepat di jalan kebenaran atau terpeleset ke jurang kenistaan? Kami tak berpengetahuan sedikitpun tentang kejadian esok yang menimpa kami. Kadang keputusan yang kami ambil seolah-olah benar dan tepat dalam kapasitas pandangan manusia, tetapi sesungguhnya salah total dalam pandanganMu. Kadang kami ragu, apakah Engkau sungguh-sungguh memihak kami, atau justru acuh, sebab seluruh tuntutan kami, permintaan kami, imajinasi kelayakan dan keindahan yang kami susun tak kunjung Engkau kabulkan jadi kenyataan.
Lantaran itu kemudian kami berprasangka buruk terhadap-mu, kami menuduhMu tidak Rahman-Rahim, tidak adil, tidak sungguh sungguh memihak kami dan malah menelantarkan kami. Kadang kami merasa sia-sia berjuang di jalan-mu ketika bersanding dengan orang-orang yang menentang-mu, orang yang berseberangan dengan-mu justru serba berkecukupan. Bahkan kadang sering terbesit dalam benak kami hingga menanyakan apakah sesungguhnya engkau ada bersama surga-mu kelak. Kami menyangka keberadaan-mu hanyalah dongeng peredam kebimbangan, hanyalah obat keputusasaan. Kami merasa sial harus bertemu dan bergabung dengan orang-orang yang entah sejak kapan mulai berpikir tentang adanya Tuhan, tentang adanya jagat raya pasti ada yang melahirkan.
Kami menyangka pengalaman konatif transedental di wilayah spiritual hanyalah berada di ruang psikologis yang betatapun itu kebenaran sejati tidaklah bisa diverifikasi serta terkesan menipu diri. Karena setiap diri pasti menemukan pengalaman dengan sesuatu yang di luar diri. Dan Engkaulah salah satu yang disebut sesuatu di luar diri itu. Kemudian kami harus berbalas budi terhadap seluruh fasilitas yang disediakan pancipta alam sebagai ketersediaan kebutuhan hidup. Padahal, jika kami jujur, sesungguhnya kami terima bersih terlahir di jagat raya ini. Kami tidak tau apa-apa dan tiba-tiba tercipta lalu menanggung seluruh keperluan hidup dengan jerih payah. Bahkan kami berfikir Pede, bahwa keberadaan kami sebagai makhluk sesungguhnya cukup berjasa sebagai teman Tuhan agar tidak sunyi dalam kesendirian. Lalu kami jadi penghibur sepi sebagai pemuja. Kami berpikir keberadaan Tuhan bukanlah materi yang berwuwjud dan dapat diraba. Oleh karena itu keberadaanmu ya Allah hanyalah tampilan bentuk imajinasi semata.
Duh Gusti mugi paringo ing margi kaleresan. Pandangan kami tentang-mu salah total. Kami mencari-cari seribu jalan untuk keberatan berada di jalan-mu. Diri ini terlalu feminim, ruh pun teramat maskkulin.
Sehingga kami terlalu merebut eksistensi untuk mengalahkan kekuasaanMu. Kami terus menuntut keperluan darimu padahal Engkau serius bekerja dalam setiap detik dari hidup kami. Kami tidak memiliki katakjuban sedikitpun meski Engkau hadir, menghuni dan terlibat langsung mencahayai hidup ini. Kami tidak menyadari betapa setiap detik saja Engkau bekerja serius mendetakkan jantung kami. Keyakinan kami gampang terjegal oleh propaganda pemikir sekular yang seolah-olah baik dan rasional padahal sesungguhnya merusak peradaban secara perlahan. Sehingga program kebenaran yang dikemas rasionalisasi berbagai disiplin keilmuan terkadang menguatkan pandangan kami yang akhirnya melemahkan keterlibatan Tuhan. Kami berlarian menuju berbagai sistem dan menganggap Engkau ada di dalamnya. Kami selalu gagal mengartikan Dirimu, zat-mu, quart-mu, neutron-mu, proton-mu. Kami salah dan terlalu latah menafsirkan-mu ya Allah.
Lalu kekuatan apa yang kami pakai untuk kembali merendah di hadapan-mu? Analogi bagaimana yang kami pakai mencopot selubung eksistensi bahwa kita makhluk hina yang tak berdaya menyelesaikan persoalan-persoalan kami sendiri? Tesis dan antitesis seperti apa yang mampu mengakui sintesis bahwa konsep dasar keilmuan kami nyasar dan menjauh dari nilai-mu? Rasionalisasi penyerahan macam apa yang membuat ego kami rontok untuk menemukan keikhlasan? Keteguhan tersusun sekuat apa untuk menumpuk keyakinan bahwa Engkau memang pandangan final segala hal? Berdasarkan fakta apa supaya kami rela mengakui bahwa ditinjau dari kapasitas apapun kadar kami hanyalah partikel hamba dan Engkaulah zat Sang Gusti, Sang Gusti?
Duh Gusti mugi paringo ing margi kaleresan. Kami merancang cita-cita untuk menjalani hidup sebagai pribadi yang baik, berkeluarga yang baik, bertetangga yang baik, berteman yang baik, berbangsa dan bernegara yang baik. Tapi kami selalu terseret tafsir ego pribadi, ego golongan, sehingga perlahan dan tidak terasa niat kami melenceng. Duh Gusti, untuk baik saja kami tidak berdaya, kecuali Engkau dengan cara tak terduga tiba-iba menyeret kami dalam arus kebaikan. Setiap detik, setiap jengkal, setiap jangkah kami terjebak goyatul ikhtisor: pikatan seolah masuk ke ruang Dirimu tetapi sesungguhnya memenuhi ruangMu dengan diri kami. Pemujaan seolah menomor satukan diri-mu tetapi sesungguhnya kami mengunggulkan diri dibanding yang lain. Bahkan keunggulan yang seandainya Tuhan tidak ada pun tak masalah yang penting kami lebih unggul dari yang lain.
Duh Gusti, jalan yang baik dan benar hanyalah ruas jalan yang Engkau bentangkan. Sementara kami melewati jutaan lajur sempalan yang belum tentu menuju titik pusat ridho-mu. Bahkan kami tersesat di liku gang-gang kelokan yang mentok kebingungan di perempatan ideologi. Di tikungan itu kami tidak melangkah dan berputar naik-turun di tangga fatamorgana nilai. Duh Gusti mugi paringo ing margi kaleresan.
Kalimat ke dua: Kados margine manungso kang panggih kanikmatan. Entah bagaimana sejarah hidup seseorang dalam memproses/diproses dirinya. Yang jelas di akhir hayatnya menemukan titik prasangka bahwa Allah SWT telah menarik dirinya menjadi pembantu untuk mengurusi makhluk lain ciptaannya.
Lantaran dipercaya sebagai pembantu pasti sistem aktivasi dalam dirinya disetting hardwar dan softwar berkapasitas gelembung keinginan Allah. Orang yang sadar sesadar sadarnya bahwa bagaimanapun lakon hidup yang sudah digariskan Allah adalah jalan terbaik dari anggapan baik menurut diri.
Kados margine manungso kang panggih kanikmatan. Orang yang paham bahwa kehancuran buruk dalam pandangan manusia tidak harus buruk dalam pandangan Allah SWT. Orang yang paham bahwa siapa bilang bahwa Pak Camat derajatnya lebih tinggi dari pada Lurah. Orang yang paham bahwa siapa bilang orang kaya lebih mulia dari si miskin.
Orang yang tatag bahwa siapa bilang kiai mumpuni belum tentu lebih tinggi makomnya dibanding petani. Orang yang yakin bahwa keporak-porandaan adalah kenikmatan yang berwujud kerusakan. Orang yang melengketkan cinta dengan Tuhan, lantaran cinta kemudian merasakan kesengsaraan sebagai bagian dari kenikmatan cinta. Karena bagi pecinta sejati kesengsaraan dan kenikmatan telah menyatu dalam ruang cinta. Kesengsaraan dan keporak-porandaan hanyalah satu teori takdir bahwa Allah sedang mencuci pakaian rohani kita yang dekil supaya lebih cling dan pantas untuk dipakai tampil di peradaban mendatang.
Kados margine manungso kang panggih kanikmatan. Orang-orang yang berada pada titik kestabilan pengambilan keputusan. Orang yang seandainya kayapun tidak sombong, miskinpun tidak susah. Orang yang bahagia pun tidak terlampau gumbrigah, sengsarapun tidak meratap nelangsa. Orang yang didera himipitan masalahpun tidak kelabakan terpenjara, dilonggarkan atas setiap problematikapun tidak leha-leha. Orang-orang yang dianugerahi kelebihanpun mengetahui dan mengakui detail kekurangannya, dihiasi kekuranganpun bersemangat memiliki kelebihannya. Orang yang khatam bahwa meratapi nasibpun tetap percuma, sebab andai diratapi seribu kali setiap detikpun belum tentu berubah dalam sekejap mata. Jika belum tentu cepat beubah kenapa harus meratap sayu! Orang yang sangat megerti bahwa hidup itu memang berpasangan: ada bertemu ada berpisah, ada miskin ada kaya, ada senang ada susah. Hidup tinggal menjalani saja, ketepatan takdir setiap peralihan adegan kehidupan dari pada mengunggulkan eksistensi diri manusianya. Orang orang yang tak lagi sibuk mencari peng-aku-an dirinya lantaran paham bahwa sehembus nafas pun tak kuasa membayar sewa perangkat paruh dan okesigen. Orang yang tak lagi sibuk membangun kebesaran diri dan kebesaran orang lain berdasarkan sistem kubu lantaran paham bila Allah membesarkan seseorang pasti membekali perangkat jasad dan jiwa dengan kreatif berjuta watt lebih akas dari pada manusia lainnya. Orang yang mampu sumeleh, merelakan sesuatu yang luput dari target kemauannya bahwa tidak semua keinginan bisa diwujudkan lantaran manusia dibekali keterbatasan. Kados margine manungso kang panggih kanikmatan.
Kalimat ke tiga: Sanes margine manungso kang Paduko laknati. Orang yang Engkau gunggung dalam kemapanan. Cara pandang kenyamanan yang Engkau sematkan dalam dada bahwa itulah satu satunya cara Allah meninggikan takdir atas dirinya dari pada kebanyakan orang. Lalu mereka yakin bahwa imperium kejayaannya mustahil akan runtuh. Lantaran itu kemudian mereka merasa Tuhan melimpahkan segala hal. Lalu satu persatu kenyamanan itu Engkau copoti. Mereka tidak siap dan pemahamannya tidak sampai pada kenyataan bahwa mustahil kejayaan bisa berubah keterpurukan dalam sekejap masa. Lantas mereka meratap-ratap hingga menyangka bahwa Tuhan begitu kejam dan tega. Lalu mereka berburuk sangka terhadap Tuhan di akhir hayatnya. Celaka.
Sanes margine manungso kang Paduko laknati. Orang yang merasa cukup pintar, lantas tertutup kesadarannya bahwa Tuhan juga menitipkan nilai pada orang lain. Lantas ketertutupan itu membuat mereka tidak sempat lagi membaca atau mengakui karya orang lain. Padahal ia tidak sanggup melahirkan karya sebagaimana yang telah dilakukan orang lain. Orang yang ketulo-tulo bahwa ada batas usia yang seharusnya lepas dari jeratan sistem dunia, namun masih sanagt sibuk. Orang yang Engkau timbun ketakutan dan kekawatiran sedemikian rupa hingga tak percaya bahwa di luar dirinya juga mampu dan bisa.
2. Aktivasi Malaikat Dalam Tubuh.
Kita melakukan pencarian terus menerus makna tiga kalimat Wirid Duh Gusti terulas di atas. Maka ada padatan gelombang yang harus perlahan dan sungguh-sungguh kita congkel dari perilaku keseharian. Ada pula gelombang yang harus kita kembangkan dalam keseharian. Kalimat pertama: Duh Gusti mugi paringo ing margi kaleresan menempati 33,3%. Kalimat ke dua: Kados margine manungso kang panggih kanikmatan menempati 33,3%. Sedang kalimat ke tiga: Sanes margine manungso kang Paduko laknati menempati 33,3%.
Aktivasi gelombang energi tiga kalimat wirid di atas diawali dengan kesepakatan (permohonan) memasukkan kesediaan Allah paring ing margi kaleresan. Sak tiba-tibane, sak salah-salahe ndilalah nemu bender, sak ciloko-cilokone jik tetep nemu selamet. Kesediaan berikutnya menyepakati seluruh perangkat tubuh baik jasad maupun fikiran membuka lebar masuknya peran Allah terlibat langsung menetapkan sebagai pribadi yang selalu berada di margine manungso kang panggih kanikmatan. Aktivasi kalimat ke tiga berusaha membuang lintasan fikiran bahwa kita bukan manusia kang Paduko laknati. Tentu saja kita harus mandegani diri untuk mencopot seluruh aktivasi diri yang berpotensi sebagai makhluk yang dilaknati. Termasuk menyerahkan total masuknya aktivasi tipuan, yakni seolah paring kaleresan dan kanikmatan tapi akhirnya berujung laknat. Selamat meng-online-kan aktivasi malaikat dan amati pengaruh khasiat. Selamat pula meng-off line-kan aktivasi setan.
*) Sabrank Suparno. Dowong.
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments