Jumat, 18 Okt 2024

Rabalah Pangkal Jalan

Administrator Senin, 11 Februari 2019 07:49 WIB
SESUAI dugaan. Sepaket dengan harapan. Akhirnya ada juga wartawan senior menyajikan ramuannya di momentum Hari Pers Nasional tahun ini: Asam, kelat, pahit sekaligus. Untuk mereka yang bergelut di media  massa. Atau setidaknya tuk saya. Dua hari menunggu.

Diawali dari Ramon Damora: Stanley dan Mogulisme Media. Itu yang disajikan mantan Ketua PWI Kepulauan Riau yang juga sastrawan itu. Tulisannya mungkin mewakili kegelisahan dari insan pers akan penguasaan media massa oleh konglomerasi. Ini hanya analisa permukaan yang saya tangkap. Saya yakin jauh lebih dalam.

Tak cukup disitu. Sehari usai Jokowi dianugerahi Penghargaan Kemerdekaan Pers, ia kembali meliuk dengan kata-katanya. Khas orang Melayu.

HPN, Hari Pelanduk Nasional. Sebutnya.
Ini sedikit kutipannya.

Pada Hari Pelanduk Nasional
Pelanduk terbungkuk-bungkuk
Mencium kaki Raja Singa
Memohon selfie rebut-rebutan
Ngasih upeti Piala Kemerdekaan.

Hari Pelanduk Nasional. Katanya. Bukan Hari Pers Nasional. Padahal,. Memanglah.

Menyusul. Atau mungkin lebih awal. Tulisan M. Nigara: Mempertanyakan Netralitas Dewan Pers. Mantan Wasekjen PWI ini gundah dengan disematkannya Presiden ke 7 Indonesia itu dengan penghargaan medali Kemerdekaan Pers. Argumennya sulit ditolak. Boleh diuji. 

Tulisan Hersubeno Arief. Saya tunggu-tunggu. Dan mungkin yang paling saya tunggu. Ternyata belum juga muncul. Bisa jadi benar kata Djajang Nurjaman. Pemerhati media itu. Hersu mungkin sudah kehabisan kata-kata menggambarkan semua keganjilan pers Indonesia saat ini. 

Hanya ada ucapan turut berduka beserta seuntai bunga putih atas anugerah medali Kemerdekaan Pers di tampilan web hersubenoarief.com. Walau saya masih menunggu tulisan terbarunya. Pastinya tentang Pers. 
Semoga hari ini.

Dahlan Iskan? Berharap di Di'sway nya yang muncul setiap hari itu ada digoreskan tentang fenomena pers Indonesia terbaru. Boleh tentang konglomerasi. Boleh tentang kemesraan dengan penguasa. Atau, terserah. 
Sekehendak Raja media itu. 

Mungkin lancang saya berani menafsirkan tulisan para pentolan media diatas. Namun apa daya jari-jari tangan sudah gatal nak sedikit meracau. Mohon izin.

Selama ini bukan tidak ada makian atau kritikan dari mereka yang tidak bergelut di media. Ada. Hanya saja perangkat panca indra insan pers yang belum mau menerimanya: Pers Indonesia sudah menjadi humasnya Istana. Pers Indonesia corongnya penguasa. Atau kata sejenis. Sudah terlalu sering kita mendengarnya. Dan semua tahu itu. 

Lantunan puja-puji juga tidak sedikit. Terutama bagi mereka yang butuh pencitraan: Pers mitra kami, Pers sahabat kami. Dan basa-basi lainnya. Membuai. Pada ujungnya menenggelamkan. Sebagian.

Sebagai pilar demokrasi, pers sepatutnya saban waktu merefleski dirinya. Memodifikasi wujudnya sesuai kebutuhan zaman. Namun juga harus secara sadar memberi jarak diri. Terutama pada penguasa: Tidak terlalu dekat, agar objek yang dipandang tidak bias. Juga tidak terlalu jauh, meminimalisir kekeliruan.

Namun tetap matanya membelalak, telinganya menyimak, dan mulutnya menggonggong untuk kepentingan publik.  Sekaligus menghamparkan senyuman merekahnya. Tapi juga eksis sebagai badan usaha profit.

Regulasi kepemilikannya sudah saatnya dikoreksi. Bisa jadi remuknya reputasi pers Indonesia saat ini karena dikuasai pejabat partai politik. Sebab bisa disetir kemana mau. Sebut saja, peristiwa harum mewangi jutaan manusia di pusat ibu kota bisa ditutupi dengan hamparan sampah di Teluk Jakarta.

Apatah lagi tahun politik ini, segala macam umbaran kepentingan elektoral menjejal di semua media mainstream: Kami janji, kami akan, kami komitmen. Bertalu-talu. Padahal sudah membuat pembaca ngilu.

Semua, kecuali mereka yang culas, pasti menginginkan pers kembali kepangkal jalan. Bukan melangkah dari belakang, cukup dari tempat berdiri sekarang. Sambil berjalan, bersihkan tubuh dari tempias yang memercik. Pasti bisa. (*).
Oleh : Alwira Fanzary Indragiri - Ketua OKP Lingkar Anak Negeri Riau (LAN-R) - Wartawan
 
T#gs
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments