- Home
- antaranusa
- Menengok Perjalanan Sejarah Ibu Kota RI
Menengok Perjalanan Sejarah Ibu Kota RI
Jumat, 06 September 2019 21:28 WIB
NASIONAL, - Pemerintah akan memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke wilayah yang bersinggungan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dari sisi hukum ketatanegaraan, tindakan hukum pemindahan ibu kota merupakan kebijakan hukum yang sangat futuristik bagi masa depan Republik Indonesia.
"Khususnya bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan yang lebih modern," kata Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid dalam keterangan tertulis.
Dia menyebutkan, pemindahan ibu kota sebelumnya sudah pernah dilakukan, namun dalam konteks keadaan darurat. "Secara konstitusional harus dibaca dalam kerangka serta konteks darurat negara," jelasnya.
Pertama, perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta ketika terjadi Agresi Militer I Belanda pada 29 September 1945, berselang lima bulan setelah deklarasi kemerdekaan RI. Prosesnya, pada 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirim kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibu kota NKRI dipindahkan ke Yogyakarta.
Pada 4 Januari 1946, Presiden Soekarno memindahkan ibu kota negara ke Yogjyakarta untuk pertama kalinya. Alasan yang paling mendasar pada saat itu adalah karena Jakarta telah jatuh ke tangan Belanda. Sementara Yogyakarta dinilai paling siap dari sisi ekonomi, politik, dan keamanan.
Namun, Agresi Militer belanda II pada 29 Desember 1948 mengakibatkan jatuhnya Yogyakarta sebagai ibu kota NKRI ke tangan Belanda. Selanjutnya Presiden Soekarno memberikan surat kuasa kepada Safruddin Prawiranegara yang berada di Bukit Tinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat.
Pada 22 Desember 1948, Syarifudin Parwiranegara mengumumkan bedirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi Sumatera Barat. Maka Bukittinggi menjadi ibu kota pemerintahan darurat.
Setelah kondisi pemerintahan kembali normal, ibu kota kembali ke Jakarta.
Catatan Penting Jakarta Ibu Kota
Terkait Jakarta sebagai ibu kota, Fahri Bachmid menjelaskan perjalanannya dalam konteks ketatanegaraan. Secara historis,penamaan Daerah Khusus Ibukota pertama kali tertuang dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No. 2 Tahun 1961 Tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS No. 2 Tahun 1961.
Dalam konsideransnya, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibu Kota Negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan, dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia. Sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional sesegera mungkin,
Landasan yuridis berikutnya adalah UU No. 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta. Undang-undang ini pun hanya berisi dua pasal yang menegaskan status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota serta masa berlaku surutnya dari 22 Juni 1964, yaitu sejak Presiden Soekarno mengumumkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
Pada bagian pertimbangan dan penjelasan umum UU No. 10 Tahun 1964 tertera bahwa penegasan ini diperlukan mengingat Jakarta telah termasyhur dan dikenal, serta merupakan kota pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Juga pusat penggerak segala kegiatan, serta merupakan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar ideologi Pancasila ke seluruh dunia.
Pada tahun 1990, Presiden Soeharto mencabut kedua UU tersebut dengan mengundangkan UU No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakart.
Dalam konsiderans disebutkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan dan peranan yang penting, baik dalam mendukung dan memperlancar penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia maupun dalam membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya bangsa Indonesia.
Kemudian saat reformasi tahun 1998, Presiden Habibie mengubah kembali payung hukum DKI Jakarta melalui UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, UU ini mempertegas kekhususan Jakarta karena statusnya sebagai Ibu Kota Negara.
Demikian pula ketika era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lahir UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah ibu kota dipindah, bagaimana status Jakarta? "Bahwa dari sisi ilmu hukum tata negara, perubahan Ibukota ke kota lain tak otomatis mengubah kekhususan Jakarta," kata Fahri.
Konsekuensi Ibu Kota Baru
Fahri menambahkan, bahwa secara konstitusional berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar".
Selain itu, pasal 25A UUD 1945 menyebutkan "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang".
Dengan demikian presiden sebagai kepala negara mempunyai kewenangan konstitusional untuk menyatakan pemindahan ibu kota negara RI. Selanjutnya akan dibahas secara operasional dalam bentuk pengajuan RUU terkait pemindahan itu beserta segala akibat hukumnya.
"Serta dilakukan penyelarasan serta perubahan atas berbagai perundang-undangan terkait bersama dengan DP," jelas Fahri.
Konsekuensi secara teknis ketatanegaraan terkait dengan pemindahan ibu kota adalah seluruh lembaga lembaga negara utama yang merupakan organ konstitusional, semisal Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, BPK, KPU, dan lain-lain harus berada di ibu kota negara yang baru.
Selanjutnya ke depan akan banyak perubahan berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat organik maupun sektoral yang harus diperbaharui,sepanjang yang berkaitan dengan status badan,lembaga yang berkaitan dengan ibu kota negara.
Berita Terkait
Komentar
0 Komentar
Silakan Login untuk memberikan komentar.
FB Comments